Benda silver itu melayang ke kasur empuk. Jose bergegas mandi. Iseng-iseng ia bercermin. Normal, semuanya normal. Wajah, kulit pipi, mata, hidung, dan bibirnya tetap proporsional. Walau belum dewasa, Jose bisa membedakan mana wajah tampan dan mana yang tidak.
Selesai berpakaian, Jose turun ke lantai bawah. Kecewa hatinya karena tak ada Bunda Alea. Bunda Alea sibuk pagi itu. Ia hanya datang sebentar, mengantarkan kotak sarapan, lalu pergi lagi. Ketiga pengasuh menghiburnya. Masih banyak waktu untuk bertemu Bunda Alea, begitu kata mereka. Jose menghabiskan sarapan dan meminum obatnya tanpa semangat.
Jelas ini bukan pagi yang menyenangkan. Mimpi buruk, telepon dari Ayahnya yang menyebalkan, dan ketiadaan Bunda Alea. Jose ragu, sisa harinya akan terlewati dengan indah.
Buku-buku pelajaran dibacanya epsanjang perjalaann. AC di dalma mobil terasa lebih dingin. Namun Jose tak mengeluh, dan lebih memilih tenggelam dalam bacaannya. Saat itulah dia mulai merasakan ada yang aneh di wajahnya.
Sisi wajahnya terasa gatal. Rasa panas menjalari sebagian pipinya. Apa lagi kali ini?
Dada Jose bergemuruh gelisah. Tidak, jangan sampai mimpi buruknya menjadi kenyataan. Bukankah penyakit Jose Polisitemia vera? Jose tidak sakit kanker jaringan lunak.
Kegelisahan ini mengantarnya sampai sekolah. Di halaman, anak-anak melempar pandang penuh arti ke arahnya. Jose bingung. Mengapa mereka menatapnya seperti itu?
Lain, beda dari tatapan biasanya. Kalau tatapan kagum, Jose sudah biasa. Pandangan mereka sungguh misteri.
"Pagi, Jose." Steven menghampirinya, tersenyum cerah.
Jose tersenyum terpaksa. Masih resah karena dipandangi banyak anak. Steven menepuk-nepuk punggungnya.
Rasa terima kasih pada Steven mengaliri hati Jose. Hanya Steven yang tidak memandangnya aneh. Anak pekerja keras itu mengajaknya ngobrol seperti biasa.