Murid Baru
Tak sabar dirinya ingin kembali masuk sekolah. Ketika Polisitemia vera sudah tidak nakal lagi, keinginan Jose terkabul. Jumat pagi itu menjadi hari paling menyenangkan.
Lebih menyenangkan lagi, Jose kedatangan tamu spesial. Pagi-pagi sekali Bunda Alea sudah tiba. Katanya, Bunda Alea mau mengantar Jose ke sekolah.
Ini pengalaman luar biasa. Silakan menyebut Jose anak aneh. Mungkin anak-anak lain sepantarannya sudah bosan diantar ibu. Tapi Jose berbeda. Kali pertama diantar wanita dewasa yang dipanggil Bunda, sungguh membahagiakan. Satu kebahagiaan kecil yang tak pernah didapat Jose sebelumnya.
Sedan putih milik Bunda Alea melaju melewati exit tol dalam kota. Supir bertopi felt dan berkemeja flanel mengemudi pelan-pelan. Jose dan Bunda Alea duduk bersisian di bangku belakang.
"Ayo dihabisin rotinya, Sayang." Bunda Alea membujuk sambil tersenyum.
Jose menurut. Dihabiskannya roti berlapis selai nanas buatan Bunda Alea. Betapa senangnya dibuatkan sarapan dan diantarkan ke sekolah oleh seorang Bunda.
"Bunda..." panggil Jose sedikit canggung.
"Iya?"
"Mau nggak temenin Jose Phlebotomy besok pagi?"
Bunda Alea mengerutkan kening. Sejenak mempertimbangkan. Bukannya menjawab, ia balik bertanya.
"Memangnya Ayah nggak bisa temenin kamu besok pagi?"
Jose menggeleng. Teringat Ayahnya, seraut wajah tampan itu berubah keruh.
"Ayah jahat. Abis malam kembang, masih tinggal-tinggal Jose. Ayah nggak sayang lagi sama Jose."
"Kan memang belum malam kembang. Wajar dong Ayah masih sibuk." Bunda Alea menyanggah halus.
Mata Jose melebar tak percaya. Apa ia tidak salah dengar? Ataukah ia lupa tatacara prosesinya?
Senyum simpul bermain di bibir Bunda Alea. Dirangkulnya Jose hangat.
"Tetap aja Ayah bikin Jose kecewa. Ayah perhatiannya ke sana terus." tandas Jose kesal.
"Nggak ada manusia sempurna, Sayangku. Jose harus percaya sama Ayah. Kalau Ayah sayaaaang banget sama Jose." nasihat Bunda Alea.
Entahlah. Kalau kata orang dewasa, Jose itu skeptis. Sulit percaya pada sesuatu dan seseorang.
Sisa perjalanan terlewati dengan cerita-cerita dari Bunda Alea. Mantan gadis Sunsilk itu menceritakan tentang menyerahkan hati. Kepercayaan lahir dari sikap penurut, bukannya rasa takut. Menyerahkan hati sama saja memberi kepercayaan. Memberi kepercayaan ahrus dilakukan tanpa rasa takut.
** Â Â
"Gabrieeeel!"
"Jose!"
Silvi, Sharon, dan teman-teman sekelas berlari menyambut Jose. Hanya Adi yang tidak bergerak dari bangkunya. Jose kaget bercampur senang dipeluk kawan-kawanya.
"Kamu udah sehat lagi, kan?" Sharon menanyai Jose, matanya berbinar bahagia.
Pertanyaan kurang tepat, pikir Jose. Tak ada lagi kata sehat dalam kamus hidupnya. Seharusnya Sharon bertanya, apakah Polisitemia vera sudah tidak nakal lagi? Tetapi Jose bersikap bijak dengan mengiyakan saja.
"Gabriel, kamu pasti sehat. Kelas kita beda kalo nggak ada kamu." ungkap Silvi penuh harap.
Semua anak mengangguk mengamini. Dering bel masuk memaksa mereka menyudahi aksi lepas rindu.
Ms. Erika berjalan masuk kelas. Spontan anak-anak menahan napas. Bukankah Matematika pelajaran terakhir? Pelajaran pertama adalah Bahasa Inggris.
Tidak, mereka keliru. Ternyata Ms. Erika datang bersama seorang anak laki-laki berambut rapi. Rasanya mereka tak pernah mengenal anak itu.
"Anak-anak, mulai sekarang kalian punya teman baru." kata Ms. Erika manis.
Nyaris saja seisi kelas tertawa. Mana pernah Ms. Erika memanggil mereka "anak-anak"? Pastilah sikapnya jadi manis gegara murid baru.
Si anak berambut rapi melangkah maju. Dia memperkenalkan diri setelah dipersilakan.
"Selamat pagi," sapanya ramah. Dibalas serempak oleh hampir semua murid.
"Nama saya Bayu Steven Wahyono. Panggil aja Steven. Saya pindahan dari Yogya. Senang bisa ketemu kalian."
"Hai Steven...!" koor anak-anak dengan bersahabat.
Ms. Erika tersenyum. Membuat pipinya yang chubby tertarik ke bawah. Hal yang jarang sekali dilakukannya saat mengajar.
"Nah, ada yang ingin kalian tanyakan pada Steven?"
Tawaran Ms. Erika disambuti acungan tangan Sharon. Steven berpaling menatapnya.
"Steven, cita-cita kamu apa?" tanya Sharon to the point.
"Pastor," sahut Steven mantap.
Kelas hening total. Anak sekecil itu, sudah bercita-cita ajdi pemuka agama? Ia pun begitu yakin mengucapkannya. Seakan Steven sudah punya rencana hidup yang tergambar jelas. Mereka saja sering berganti cita-cita.
"Ok. Ada lagi?" Ms. Erika memberi kesempatan kedua.
Tangan Silvi terangkat ke atas. Sesaat mata coklat Steven beradu dengan mata biru Silvi. Anak berwajah Indonesia itu terkejut. Mata biru sangat langka di negara ini.
"Steven, kamu bisa nyanyi? Nyanyi dong buat kita..."
Permintaan Silvi ditingkahi seruan setuju. Jose tersenyum ke arah sepupunya. Begitulah Silvi kalau ada murid baru. Pasti si murid disuruh bernyanyi.
Sesaat Jose yakin Steven takkan mau. Ia akan menolak dengan bermacam-macam alasan. Dugaannya meleset. Steven membungkuk hormat, meletakkan tangan di belakang punggung, dan mulai bernyanyi.
Setidaknya punya tujuh puluh tahun
Tak bisa melompat kumahir berenang
Bahagia melihat kawanan betina
Berkumpul bersama sampai ajal
Besar dan berani berperang sendiri
Yang aku hindari hanya semut kecil
Otak ini cerdas kurakit perangkat
Wajahmu tak akan pernah kulupa
Waktu kecil dulu mereka menertawakan
Mereka panggilku gajah
(Kumarah ...) Kumarah
Kini ku baru tahu puji di dalam olokan
(Mereka ingatku marah)
Jabat tanganku panggil aku gajah
Kau temanku kau doakan aku
Punya otak cerdas aku harus tangguh
Bila jatuh gajah lain membantu
Tubuhmu disituasi rela jadi tamengku (Tulus-Gajah).
** Â Â
Sekejap saja Steven akrab dengan hampir semua anak di kelas. Ya, hampir. Karena Jose tidak menyukainya.
Ah, ini sangat tidak khas Jose. Biasanya dia menyambut ramah teman baru. Bukan, bukannya Jose tidak meyukai Steven karena merasa tersaingi. Suara Steven bagus dan berkarakter. Alasannya bukan itu. Melainkan karena Steven duduk di bangku kosong bekas almarhum Andrio. Sejak Andrio meninggal, Jose sengaja membiarkan bangku itu kosong.
"Hei, kamu Jose kan? Tadi di luar anak-anak ngobrolin kamu. Katanya kamu ketua kelas teladan, jago basket, main piano, dan nulis novel." Steven mengajaknya bicara.
Jose menoleh malas. Dilihatnya tangan Steven terulur. Ragu-ragu dia menjabat tangan coklat kasar itu.
"Kapan-kapan mau nggak ajarin aku nulis novel?" lanjut Steven. Tak sadar dirinya seperti bermonolog.
Mengajari anak berkulit sawo matang itu menulis novel? Tunggu sampai kiamat Sugra dulu. Jose masih kesal karena Steven menempati bangku milik Andrio.
Tanpa kenal lelah, Steven terus mengajaknya ngobrol. Sesekali Jose menjawab pendek. Tingkah Jose tak luput dari radar Silvi. Dia maklum kenapa Jose sedingin itu.
Pelajaran demi pelajaran terlewati. Tak terasa, tiba waktunya istirahat kedua. Jam istirahat kedua lebih panjang karena merangkap jam makan siang. Anak-anak berhamburan ke cafetaria kecuali Jose. Kakinya sudah tak kuat menjajari langkah cepat mereka. Lagi pula Dokter Tian dan Ayah-Bundanya melarangnya makan makanan cafetaria sekolah. Sebagai ganti, Jose dibawakan bekal dari rumah.
Kelas nyaris kosong. Betapa herannya Jose karena si murid baru masih di sana. Setengah hati ia bertanya. Dijawab polos oleh Steven.
"Aku di sini aja ah, nemenin kamu. Masa kamu ditinggal sendirian?"
Jose terenyak. Hatinya tergores mendengar frasa 'ditinggal sendirian'. Ya, Allah, bahkan anak tak tahu diri ini lebih peka dari Ayah Calvin. Berhari-hari Ayah Calvin membiarkannya sendirian.
Bekal yang dibawakan Bunda Alea cukup banyak. Ada bento berisi dua nasi yang dibentuk menyerupai panda imut, ayam teriyaki, potongan wortel, tomat, dan daun selada. Bunda Alea juga membawakannya pizza, cheesecake, pai susu, pastel, puding coklat, kue krim, dan muffin.
"Kamu mau?" tawar Jose ragu.
Steven ikutan ragu menerimanya. Unik sekali, dua anak berbeda etnis dengan kontur wajah tak sama, makan dari kotak bekal yang sama. Berbagi bekal tanpa membedakan sekat ras dan keyakinan.
iPhone Jose berbunyi. Pop up dengan tulisan "Ayah Calvin" berpendar di layar. Steven melihatnya.
"Ayahmu telepon tuh," tunjuknya.
"Biarin. Males aku angkat," ketus Jose.
"Masa Ayahnya dicuekin? Aku aja pengen punya Ayah." sentil Steven.
Jadi, Steven anak yatim? Dia tak pernah merasakan belaian kasih seorang ayah. Jose masih lebih beruntung. Meski begitu, Jose enggan mengangkat telepon Ayahnya.
"Ayah nggak peduli lagi sama aku."
"Yeee, sok tahu. Kalo dia nggak peduli, dia nggak bakalan telepon kamu."
Pintar sekali Steven berargumen. Sayangnya, dia berhadapan dengan Jose yang keras kepala. Berkali-kali Ayah Calvin meneleponnya, Jose takkan memberi kesempatan sang ayah untuk bicara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H