Bukan Pelukan Terakhir
Bola basket meluncur masuk ke dalam ring. Mulus, mulus sekali. Jose tersenyum puas. Tembakan terakhirnya begitu indah.
"Good job, my lovely son."
Sepasang suara bass dan mezosopran membuyarkan kesenangannya. Terpandang olehnya Ayah Calvin dan Bunda Alea berdiri bersisian. Tangan keduanya bertautan.
Kegembiraan Jose tak berlangsung lama. Cepat-cepat diambilnya bola, dimasukkannya ke dalam kotak, lalu dikuncinya kotak dengan nomor kombinasi. Kotak besar itu akan terkunci selamanya.
"Kamu masih bisa menulis dan main piano, Sayang." Ayah Calvin menghiburnya.
"Berhenti main basket bukan akhir segalanya." timpal Bunda Alea.
Dengan sedih, Jose menyimpan kotak itu. Lalu berjalan di tengah Ayah-Bundanya menuju rumah.
"Dokter Tian jahat. Masa Jose dilarang main basket seumur hidup?" protesnya.
Sesaat Ayah Calvin dan Bunda Alea saling tatap. Saling mengungkapkan pikiran bagaimana cara membujuk yang terbaik.
"Tahun lalu, Ayah pernah larang Jose camping di dekat danau. Masih ingat nggak alasannya apa?"
"Banyak hewan buas di sana."
"Apa Ayah jahat? Apa Ayah nggak sayang lagi karena melarang Jose?"
"Nggak. Ayah baik banget. Ayah tetap sayang sama Jose."
"Sama kayak Dokter Tian. Jose dilarang main basket biar darah di dalam tubuh itu tetap stabil. Biar nggak terjadi apa-apa."
Perkataan Ayahnya membuat Jose merenung. Benarkah begitu? Sesuatu telah terjadi pada darahnya. Kelainan darah yang hampir mirip dengan sang ayah.
"Ayah kamu benar, Sayang. Melarang itu bukan berarti nggak sayang lagi. Tapi demi kebaikan..." kata Bunda Alea membenarkan.
Dan...Jose pun percaya. Ia tak lagi mengeluhkan larangan main basket seumur hidup.
Tiba di halaman depan, mereka surut langkah. Langit memerah. Berkas-berkas sinar keemasan pertanda sore resah dan ingin menyerah. Bulan menggantikan, siap mengalah. Bila bulan bertukar posisi dengan matahari dengan pancaran cahaya baru, Jose justru lelah.
Kelelahan, Jose rebah di sofa. Ayah Calvin dan Bunda Alea saling sikut. Mereka bergantian memandangi wajah permata hati satu-satunya itu.
"Kalau sedang tidur begini, dia makin tampan ya." komentar Bunda Alea.
Ayah Calvin hanya tersenyum. Membelai pelan tangan Jose yang terasa dingin.
"Mirip kamu." lanjut Bunda Alea, mengedip cantik.
Sontak Ayah Calvin memutar tubuh menghadap calon istrinya. Mata wanita itu berbinar nakal. Diangkatnya smartphone berlogo apel ke depan wajah Ayah Calvin. Sebuah foto terlihat jelas.
"Jose mencuri potretmu saat sedang tidur. Pose tidurmu manis juga,"
Pria berjas hitam itu terbelalak. Ingin marah, tapi tak bisa. Joselah yang melakukannya. Ayah Calvin sangat sensitif bila berurusan dengan foto diri dan privasi. Sebaliknya, dia pun sulit sekali marah pada orang-orang spesial di hatinya.
Bunda Alea tertawa melihat kegusaran tunangannya. "Ini tidak berbahaya, Calvin. Biasalah, anak-anak."
"Iya..."
"Kamu benar-benar seperti malaikat saat terlelap begini. Tenang, damai, innocent..."
"Totally wrong, Princess. Memangnya ada malaikat yang tidur? Bukankah tiap waktu malaikat berbakti pada Tuhan?"
Sibuk dengan dunia mereka sendiri, Ayah Calvin dan Bunda Alea tak menyadari sesuatu. Nyatanya Jose tak tertidur. Dia masih bisa mendengar suara-suara bernada riang di dekatnya. Belum pernah Ayahnya terdengar sebahagia itu. Bunda Alea, ya Bunda Alea melukiskan pelangi di setiap lembar harinya.
"...Sssttt, jangan ganggu anak kecil yang tidur di sofa ini." Mendadak Ayah Calvin merendahkan suaranya. Disambuti tawa malu Bunda Alea. Ia pun buru-buru mundur sedikit, menjauh dari sofa.
Hati Jose berdenyut sakit, antara bahagia dan duka tak terperi. Bahagia karena Ayahnya tak lagi menikmati sepi. Berduka lantaran sebentar lagi cinta Ayahnya akan terbagi.
** Â Â
Menjelang hari bahagiamu
Kau tak pernah tahu aku bersedih
Kau lupakan semua kenangan lalu
Lalu kau campakkan begitu saja
Tega...
Aku tahu dirimu kini
Telah ada yang memiliki
Tapi bagaimanakah dengan diriku
Tak mungkin ku sanggup untuk kehilangan dirimu
Aku tahu bukan saatnya
Tuk mengharap cintamu lagi
Tapi bagaimanakah dengan hatiku
Tak mungkin ku sanggup hidup begini
Tanpa cintamu (Rossa-Tega).
** Â
"Ayah...aku ingin pergi hanya berdua dengan Ayah. Sehari saja."
Permintaan itu sukses menghentak hati Ayah Calvin. Sebuah permohonan yang sangat sulit dituruti, seiring kian dekatnya hari pernikahan. Meski begitu, Ayah Calvin tak bisa menolak. Untuk anak tercinta, apa yang tidak?
Mereka pergi di Minggu pagi. Menembus pagi yang belum lagi tinggi. Mobil putih yang dikendarai Ayah Calvin melaju mendahului matahari.
Jose duduk di samping Ayahnya. Kedua mata sipitnya sesekali terpejam. Entah lelah, entah kesakitan. Dinikmatinya detik demi detik berdua dengan sang ayah.
Bisa saja ini momen kebersamaan mereka yang terakhir. Jose tak yakin, sungguh tak yakin waktunya akan lama. Setelah pernikahan itu, mungkin Ayah Calvin takkan punya banyak waktu lagi untuknya.
Jauh di dalam hati, Ayah Calvin menyimpan kecemasan. Dia cemas bila membawa Jose pergi terlalu lama. Jose Gabriel yang dulu suka traveling, kini tak boleh lagi berlama-lama menikmati perjalanan. Akan tetapi, kali ini buah hatinya sendiri yang meminta.
Lama Jose dan Ayah Calvin tenggelam dalam pikiran mereka. Mobil melaju ke utara, terus ke utara. Tak terasa mereka melewati batas kota ketika pagi mulai meninggi.
"Hei...Sayang, kok diam saja dari tadi? Katanya mau berdua aja sama Ayah." Ayah Calvin membuka pembicaraan, sekilas melirik Jose.
Yang dilirik mengangkat wajah. Perlahan mengulas senyum tipis.
"Ayah, aku senang kita pergi berdua. Tepat sebelum Ayah menikah..." ungkap Jose pelan.
"Kalau Ayah sudah menikah, kita masih bisa pergi berdua." Ayah Calvin menyanggah halus.
Jose menggeleng. Tidak, ia tidak boleh egois. Jika kelak nanti Jose minta pergi berdua dengan Ayahnya, apa kabar Bunda Alea? Sekaranglah saat-saat terakhir yang manis sebelum datangnya perubahan besar.
"Kita mau kemana? Ayah ikut kamu..." tanya Ayah Calvin.
"Kemana aja, asal jangan ke pantai." sahut Jose pendek.
Pantai dan laut, dua tempat yang dibenci Jose. Ia trauma. Dulu, Ayahnya pernah bilang jika ia ingin dikremasi kelak. Lalu abu jenazahnya bakal dibuang ke laut. Jose takut, takut sekali dengan kemungkinan itu.
BMW putih itu mendaki perbukitan. Tikungan-tikungan terjal dilewati. Ruas jalan penuh liku. Beberapa batu besar terlempar ke tengah jalan, entah sengaja ditaruh oleh pengguna jalan nakal atau bagaimana. Hamparan bunga mawar, lily putih, melati, anggrek bulan, peperomia, aster, canna, alamanda, bougenville, dan tulip memanjakan pandangan mata. Seperti inikah surga yang tersedia di akhirat nanti?
Ketika melewati danau, Jose merasakan sakit di kepalanya. Ayah Calvin cepat tanggap. Obat painkiller itu sekejap telah pindah ke tenggorokan.
"Ayah...obatnya pahit." erang Jose, terbatuk setelah menelan obatnya.
"Semua obat tidak enak, Sayang. Tenang...kamu tidak sendiri." Ayah Calvin berkata menguatkan.
Mereka tiba di villa. Kebun teh terhampar indah di belakang villa mewah bercat putih itu. Telah lama Ayah Calvin tak mengajak Jose ke villanya.
Jose menikmati, sangat menikmati detik demi detik waktu bersama sang ayah. Tiap foto dari kamera mirrorless itu, pelukan hangat itu, ciuman hangat di kening itu, dan potongan-potongan tart karamel yang disuapkan dengan penuh kasih itu, ia sangat menikmati dan mensyukurinya.
"Ayah..." lirih Jose.
"Iya, Sayang?"
"Ini bukan pelukan terakhir, kan?"
Sekali lagi Ayah Calvin merengkuh anak itu. Mengabaikan tatapan heran turis yang lalu-lalang di sekitar kebun teh.
"Bukan, Sayang."
"Semoga aku bisa peluk Ayah sampai ke surga."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H