Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Calvin, Jose, Alea dan Hari Raya Kesepian

6 Juni 2019   06:00 Diperbarui: 6 Juni 2019   06:45 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Calvin, Jose, Alea, dan Hari Raya Kesepian

Hari raya tahun ini, Jose lewatkan berdua saja dengan Ayah Calvin. Tak ada yang spesial. Justru apa yang ditakutkannya terjadi.


"Ayah, kenapa Jose harus pakai kursi roda?" protes Jos kecewa.

"Jose kan lagi sakit. Nanti kalau sudah sembuh, tidak perlu pakai kursi roda lagi." jelas Ayah Calvin sabar, sangat sabar.

"Jose mau sembuh! Jose nggak mau di kursi roda!" seru Jose frustrasi. Wajah tampannya dihiasi gurat kesedihan.

Tangan Ayah Calvin terulur. Lembut dielus-elusnya rambut Jose. Ditenangkannya anak tugngalnya itu. Jose butuh ketenangan dan kekuatan, Ayah Calvin sangat mengerti apa yang diperlukan putra satu-satunya.

Duduk diam terlalu lama bukanlah hal menyenangkan untuk Jose. Dia terbiasa melakukan banyak hal. Main basket adalah kegiatan favoritnya selain menulis novel dan main piano. Tapi, ia tak bisa melakukan itu karena harus memakai kursi roda. Ingin rasanya Jose membuang benda ini.

"Jangan sedih, Sayang. Ini kan hari raya...dan ada Ayah." hibur Ayah Calvin.

Jose menundukkan wajah. Apa bedanya? Hari raya ataupun hari biasa, ia tetap kesepian. Bahkan, hari raya tahun ini lebih sunyi dari sebelumnya. Tak ada lagi ketukan pintu di pagi hari dan jabatan tangan dari ketiga sahabatnya. Tak ada lagi pelukan hangat dan saling bermaafan. Mereka telah pergi.

Ketika Jose masih saja murung, Ayah Calvin mendorong kursi rodanya ke dekat kolam renang. Di sana, terdapat meja bundar penuh berisi pasta, kroket, blackforest, tenderloin steak, dan pizza. Semua itu makanan kesukaan Jose. Ayah Calvin yang menyiapkannya.

"Itu semua buat Jose?" tanya pemuda cilik multitallented itu, matanya berbinar senang.

"Iya. Tapi makannya sedikit-sedikit ya."

Ayah Calvin menyuapi Jose. Pria berjas hitam itu melakukannya dengan lembut. Jose elbih senang dirawat Ayahnya dibandingkan ketiga pengasuh. Soalnya Ayah Calvin lebih sabar dan tidak pernah kasar.

Dua jam berikutnya, Jose perlahan menemukan kembali semangatnya. Ia mulai menikmati hari raya dalam sepi. Keluarga besar Ayah Calvin tidak merayakan hari kemenangan. Tapi, asalkan ada Ayah Calvin, itu sudah cukup. Toh tak ada bedanya bila ada kumpul keluarga. Mereka akan tetap mengata-ngatai Jose "darah-campuran". Seperti Severus Snape saja yang punya julukan "half-blood-prince".

Hari raya tahun ini benar-benar sepi. Tak ada siapa-siapa di rumah besar berlantai tiga itu. Hanya ada Jose dan Ayah Calvin. Jangan harap duo mata biru Paman Revan dan Silvi akan datang. Biasanya mereka punya acara sendiri. Begitu juga Paman Adica. Paman Adica mungkin lebih senang menghabiskan hari raya bersama calon istrinya, Bibi Asyifa.

Kalian akan kecewa bila mencari-cari ketupat dan kelengkapannya di rumah Ayah Calvin. Jose tak suka semua makanan itu. Sang ayah hanya akan menyediakan masakan kesukaan anaknya.

"Oh iya...Jose lupa. Jose belum Lebaran sama Ayah." kata Jose seraya bangkit dari kursi rodanya.

Ya, Jose bisa berdiri! Kaki dan tangannya bisa digerakkan sedikit. Ayah Calvin tersentak kaget, buru-buru meminta Jose duduk lagi. Namun Jose menolak.

"Ayah aja yang duduk," tunjuknya ke sofa hitam berbentuk dadu.

Sesaat Ayah Calvin ragu. Perlahan pria tampan bermata sipit itu mengenyakkan tubuh di sofa. Dipandanginya Jose dengan cemas.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Jose berlutut. Ia meraih tangan Ayahnya dengan tashim.

"Ayah Calvin...maafin Jose ya. Maaf, Jose banyak salah sama Ayah. Jose sering bikin Ayah sedih."

Tersentuh olehnya baret-baret di tangan Ayah Calvin. Hati kanak-kanaknya yang lembut putih dihujam rasa bersalah.

"Maaf lahir batin, Ayah. Jose sayang Ayah Calvin."

Gelembung keharuan di hatinya pecah. Ayah Calvin memeluk Jose dengan lembut. Mencium keningnya penuh kasih.

"Ayah juga minta maaf, Sayangku." bisiknya.

Jose dan Ayah Calvin berpelukan, erat dan lama. Hangat emngaliri tubuh mereka. Racun kesepian menemukan penawarnya.

Sejurus kemudian, Jose berdiri lagi. Lantai yang dipijaknya serasa berputar. Wajahnya semakin pias. Aliran darah serasa berputar-putar cepat di bawah kakinya. Disusul rasa mual yang menghebat.

"Ayah, Jose amu muntah..." erangnya.

Cepat-cepat Ayah Calvin mengambilkan piala ginjal. Jose muntah. Htai Ayah Calvin teriris melihatnya. Dulu, dialah yang sering mengalaminya. Mengapa kini harus Jose?

**   

Ada cinta yang sejati

Ada sayang yang abadi

Walau kau masih memikirkannya

Aku masih berharap kau milikku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap).

**   

Di taman kompleks, seorang wanita cantik bergaun hitam berbaring datar. Kedua kaki jenjangnya menempel rata ke rumput. Wajahnya tengadah ke langit. Sehelai kertas yang telah menguning tergenggam di tangan kirinya.

Wajah wanita itu diselimuti kemuraman. Mengapa harus sedih? Padahal ia sudah dekat sekali dengan tujuannya. Makin tinggi mentari, makin menipis pula waktunya. Akan tetapi, wanita cerdas itu tak juga bergerak.

Samar terdengar dentang lonceng gereja disusul lantunan azan dari masjid di sebelahnya. Indah, harmonis, dan menggetarkan. Seruan shalat seirama dengan panggilan doa Angelus.

Doa Angelus? Bulir hangat membasahi pipi mulusnya. Wanita itu teringat masa-masa sekolahnya yang indah. Walau memeluk ajaran Nabi Muhammad, ia pernah mengenyam pendidikan Katolik. Sama, sama seperti pria yang akan ditemuinya.

Seharusnya ia bahagia. Banyak kolega berkata begini.

"Alea, calon istri Calvin di masa depan."

Benarkah? Pantaskah ia menjadi istri Ayah Calvin? Sekali lagi dibacanya surat dari almarhumah Sivia. Menekuri kalimat-kalimatnya, meresapi kata per kata.

Sivia emmilihnya. Sivia memilihnya menjadi pengganti. Menjadi istri untuk Ayah Calvin, menjadi Bunda untuk Jose. Sayangnya, Alea terlambat. Ia terhalang puluhan project kesetaraan gender dan kesibukan lainnya selama bertahun-tahun. Urusan ini lolos dari kepalanya.

Makin dalam penyesalan Alea saat mengetahui lika-liku Ayah Calvin sebagai single parent. Dia tahu persis kondisi pria itu. Ayah Calvin pasti lelah melakoni perannya sendirian.

Karena Ayah Calvin, Alea menguatkan hati. Pelan tapi pasti, ia beranjak meninggalkan taman. Amanah harus ditunaikan.

Alea memasuki rumah paling besar di kompleks itu. Ditekannya bel. Dua menit kemudian...

"Alea?"

"Calvin?"

Keduanya terperangah. Alea yang cantik dan Ayah Calvin yang tampan. Larut dalam tatap dan cinta. Tahun-tahun memisahkan mereka. Namun, rasa dan pengharapan itu tak berubah.

Mata Ayah Calvin berkaca-kaca. Ingin, ingin sekali ia merengkuh tubuh indah itu. Membelai rambut hitam yang kini telah terpotong pendek sebahu itu. Rambut Alea tak sepanjang dulu. Tetap saja ia cantik. Alea cantik, cantik luar-dalam.

"Ayah, apa itu Bunda?"

Dari ruang tengah, terdengar derit kursi roda. Jose menyusul Ayahnya. Hatinya menghangat melihat sosok jelita yang berdiri anggun di ambang pintu.

Hari raya tahun ini sepi, sepi sekali. Mungkin saja hari raya tahun depan akan lebih indah.

**   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun