"Jose juga lukai Ayah. Ayah ikhlas dilukai berkali-kali, asalkan Jose nggak luka lagi." Anak yang mewarisi ketampanan Ayahnya itu bercerita dengan sedih.
Bunda Dinda menenangkannya. Meminta Jose berhenti melukai diri. Ketika Jose dan Tamara bermain di lantai atas, barulah Bunda Dinda bicara serius dengan Ayah Calvin.
"Calvin, bersabarlah. Kamu punya amanah luar biasa..." kata Bunda Dinda.
"Sabar? Selalu kucoba. I will do my best for my dear one."
Bunda Dinda membelai lembut punggung Ayah Calvin. Punggung rapuh itu...yang menahan beban berat dan menyimpan banyak luka.
"Mungkinkah Jose seperti itu karena tak pernah bertemu Sivia?" Bunda Dinda mengungkapkan prediksinya.
"Maybe. Dia belum setegar kamu. Kamu...yang telah lama ditinggal ibu kandungmu, dan punya ibu baru. Yang kausebut...ibu yang itu."
"Ingatanmu kuat, Calvin. Kau pasti ingat, waktu aku terisak-isak di pelukanmu saat Ayahku akan menikah lagi."
Ayah Calvin mengangguk, menunjuk dadanya. Tempat dimana dulu Bunda Dinda sering bersandar. Ayah Calvin Wan dan Bunda Dinda Pertiwi, keduanya dipersatukan nasib yang sama. Sama-sama hidup tanpa ibu, sama-sama hidup sendiri, punya hobi yang sama, dan pernah terperangkap stigma "tak punya keturunan" dalam waktu sangat lama.
"Calvin, aku pernah merawat ibu yang itu. Dia terkena stroke dan TBC. Tak ada yang memperhatikannya kecuali anak-anak ayahku. Aku dan saudara-saudaraku bergiliran merawatnya. Tamara memintaku hati-hati dan menjaga kesehatan."
"That's good. Aku yakin kamu tulus merawatnya. Kau layak mendapat hadiah untuk ketulusanmu."