"Yups. Dan slow cook. Biar bumbunya lebih meresap." jelas Ayah Calvin.
"Pak direktur...businessman, blogger, dan pengajar sepertimu, masih mau turun ke dapur. Itu kan bagus sekali. Pria yang bisa memasak dua kali lebih seksi." puji Bunda Dinda di sela kesibukannya memotong daging dan wortel.
"Blogger? Hmmm...yah, tak sesering dulu. Karena rasa sakit ini..."
Pisau di tangan Bunda Dinda berdenting jatuh. Wanita cantik yang mahir menulis fiksi itu memandang Ayah Calvin penuh tanya.
"Sakit apa, Calvin?"
"Sudahlah, tak perlu dikhawatirkan. Oh ya, kau masih jadi admin Fiksiana Community kan? Ceritakan padaku progresnya..."
Kelihatan sekali Ayah Calvin berusaha mengalihkan topik. Dengan berat hati, Bunda Dinda menceritakan grup penulis fiksi yang diurusnya.
Kecemasan Bunda Dinda sedikit berkurang saat duduk semeja dengan Jose dan Tamara. Rasanya seperti keluarga bahagia saja. Ada Ayah, ada Bunda, dan ada dua anak yang lucu dan pintar.
Jose dan Tamara sangat menikmatinya. Kebersamaan itu, janganlah cepat berlalu. Mereka masih memerlukannya. Tamara rindu sosok ayah, Jose mendambakan hadirnya figur bunda.
Kali berikutnya, Tamara dan Bunda Dinda datang ke rumah Jose. Ayah Calvin balas mengundang mereka. Tanpa sengaja, Bunda Dinda tahu rahasia Jose dan Ayah Calvin. Ia lihat tangan Ayah Calvin baret-baret. Didapatinya pula dua luka baru di jari Jose.
"Luka? Jangan lakukan lagi, Jose Sayang. Jangan ya. Daripada kamu melukai diri sendiri, lebih baik berkeluh kesah sama Bunda." pintanya.