"Terapi itu melemahkan kekebalan tubuhmu...kamu harus hati-hati."
Pintu ruang musik terbuka. Alia dan teman-temannya datang. Ayah Calvin bangkit, menyambut murid-muridnya hangat. Ia bersikap senormal mungkin, seakan semuanya baik-baik saja.
"Ayah Calvin, tadi Alia dimarahin Bu Farida." Gadis kecil berhijab putih mengadu.
"Alia dimarahin soalnya dikira nyontek. Padahal kan, Alia ambil krtas yang jatuh."
Ayah Calvin mengelus-elus kepala Alia. Membetulkan lipatan bajunya. Alia memegang erat tangan guru musiknya. Gelap pandangannya, terang hatinya. Alia memang tidak bisa melihat wajah guru musiknya yang begitu tampan. Akan tetapi, dia dapat merasakan kelembutan dan ketulusan Ayah Calvin.
Kelas berlangsung menyenangkan. Ayah Calvin mengajari mereka membaca not. Dibuatkannya notasi berhuruf Braille untuk Alia dan dua temannya yang tidak bisa melihat. Anak-anak kelas enam senang sekali belajar musik.
Suara azan Maghrib menyela. Ayah Calvin menghentikan kelas sejenak. Disilakannya Alia dan teman-temannya yang Muslim untuk berbuka.
Sekolah ini memang majemuk. Anak Muslim, Katolik, Protestan, Konghucu, Hindu, dan Buddhis belajar bersama. Mereka disatukan oleh nasib yang sama. Tubuh dan pikiran mereka boleh tak sempurna, namun hati mereka terbuka.
Ayah Calvin meraih tas krtas di bawah kakinya. Di dalam tas itu, tersimpan beberapa kotak nasi, ayam goreng, dan gelas-gelas kertas berisi lemon tea. Dibagi-bagikannya makanan dan minuman itu pada murid-murid Muslim.
"Wah, ini buat Alia?" tanya Alia, matanya berbinar senang.
"Iya. Sini, Ayah bukain. Mau disuapin nggak?"