Ruang kesakitan itu bernama rumah sakit. Sivia mendampingi Ayah Calvin di masa-masa perawatannya. Ia sedih, namun tetap menerima sepenuh hati.
"Sejak awal aku tahu kalau kau sakit," tukasnya dengan mata sembap.
"Apa kenyataan ini membuatmu berpikir untuk berpisah dariku?" lirih Ayah Calvin. Rasa sakit itu masih ada, menjalari tulang-tulangnya.
Sivia menggeleng. Lembut membelai tangan Ayah Calvin yang dibalut selang infus.
Kali berikutnya, Ayah Calvin menemani Sivia ujian sidang. Jarak usia mereka terpaut cukup jauh. Namun, hal itu tak menghalangi mereka untuk bersama. Sedekat apa pun malaikat tampan bermata sipit dengan gadisnya yang jelita, ada batas tak kasat mata di antara mereka.
"Aku tunggu di sini," kata Ayah Calvin di pelataran masjid.
"Nope. Tunggu aku di sana saja." tunjuk Sivia ke selasar hijau pendek.
"Kenapa memangnya?"
"Aku tak ingin kamu luka lagi. Jamaah masjid ini fanatik soalnya. Mereka takkan suka melihat mala itu."
Urusan di masjid selesai. Sekarang saatnya Sivia menunggu di halaman vihara. Ini lebih mudah. Umat tak begitu agresif. Paling-paling Sivia hanya ditatap penuh minat. Orang-orang menyukai matanya yang unik.
"Ngoni mau kita punya mata?" goda Sivia pada sekumpulan umat yang menatapnya.