Massa terus berteriak-teriak. Mereka melontarkan rentetan kata menyakitkan. Sakit hati Ayah Calvin mendengarnya. Mudah sekali menyulut kemarahan orang dengan politik identitas.
Apa yang ditakutkan orang-orang terjadi. Kerusuhan ini melibatkan politik identitas. Kelompok tertentu dikafirkan. Kelompok lain dianggap asing dan berbahaya. Makin sedih Ayah Calvin saat dia menemukan seorang anak kecil berambut ikal menjadi korban. Tubuhnya terkena luka sabetan parang milik salah seorang demonstran.
Ini tak bisa dibiarkan. Pria berkacamata itu menggendong tubuh si anak malang. Ayah Calvin berdesakan melewati kerumunan massa. Sejumlah demonstran berulang kali mencoba melukainya.
"Kalian boleh lukai saya. Berhenti melukai anak-anak tak bersalah." ucap Ayah Calvin, tenang dan berwibawa. Kontras dengan suasana hatinya yang dirayapi gundah.
"Ah diam kamu, kafir! Orang asing seperti kamu tak diinginkan! Pulang sana ke negaramu!"
Rasa dingin menjalari seluruh tubuh Ayah Calvin. Dingin, dinginnya kebencian demonstran itu, menusuk sampai ke sumsum tulangnya. Apa salah dirinya dan saudara-saudara seetnisnya? Mengapa tiap kali ada konflik politik, etnis bermata segaris selalu jadi korban?
"Stop! Stop! Dia temanku!"
Seorang gadis cantik berhijab hitam menyeruak. Penampilannya mirip para demonstran. Mereka pun terdiam. Si gadis menarik tangan Ayah Calvin. Keduanya berlari ke ruas jalan terdekat. Jalan yang membatasi area demonstrasi.
"Thanks," kata Ayah Calvin penuh terima kasih.
"Kamu sudah membantuku menyelamatkan anak ini..."
Gadis cantik itu tertawa. Tanpa malu, dia membuka hijabnya. Kain sutra hitam itu tersingkap. Helaian indah mahkota hitam berkilau tergerai bebas. Gadis itu cantik, cantik sekali.