Mangkuk itu telah kosong. Ayah Calvin meletakkannya di meja. Ia baru selesai menyuapi Jose.
Sepertiga malam yang hening. Jose tak minta dibacakan buku. Dimintanya sang ayah bercerita tentang Opa Effendi.
Ayah dan anak itu berbaring bersisian. Seraya mengelus-elus kepala Jose, Ayah Calvin bercerita tentang Papanya. Papanya yang juga Opanya Jose. Jose sayang Opa Effendi, seperti Opa Effendi menyayanginya. Di keluarga besar, hanya Ayah Calvin dan Opa Effendi yang menyayangi Jose.
"Opa Effendi sering cerita masa lalunya...waktu masih tinggal di Pasar Tanah Kongsi. Kata Opa, masa muda harus dihabiskan buat kerja keras. Masa tua, waktunya menikmati hasil kerja keras kita." Ayah Calvin bercerita dengan suara lembut.
"Opamu baik hati dan toleran. Di rumahnya, selalu ada sajadah dan ruang khusus untuk shalat bagi tamu-tamunya. Opa juga tidak pernah memasak daging babi. Ayah beruntung punya Papa sebaik itu..."
Siapa bilang hanya Ayah Calvin yang merasakannya? Jose sangat, sangat bersyukur memiliki Ayah Calvin. Ayah Calvin Wan itu ayah paling top, ayah juara satu seluruh dunia.
"Dulu Ayah sering bandel sama Opa. Nggak mau disuruh belajar, sering kabur ke tempat penyewaan buku, sering protes. Tapi Ayah berusaha buat Opa bangga. Ayah ikut marching band. Seleksinya susah, Cuma orang-orang berbakat yang bisa masuk. Ayah buat banyak prestasi biar Opamu bangga..."
Kalimatnya terputus. Tetiba Ayah Calvin terbatuk. Sekilas Jose melihat darah segar mengalir dari hidung Ayah Calvin.
Hmmmm, Jose ditinggal-tinggal lagi. Ia setengah tak percaya. Ayah Calvin yang lembut dan penyayang, ternyata dulunya bandel? Lamunannya buyar saat Ayah Calvin kembali lagi.
"Ayah, Opa orang baik ya." ucap Jose tulus.
"Iya. Ayah kagum padanya."