"Ayah jangan pergi sama Paman Adica...jangan tinggalin Jose." ucapnya berkali-kali.
Ayah Calvin membelai rambut Jose dengan lembut. Mana mungkin ia menolak? Jose terus melarangnya pergi dengan kesedihan mendalam.
"Iya, Sayang. Ayah tidak akan pergi. Wait...Ayah kabari Paman Adica dulu."
Hati Jose sedikit tenang mendengarnya. Paling tidak, Ayahnya akan bersamanya di rumah sepanjang hari ini. Ayah Calvin tak boleh tahu. Ini bukan hari yang baik untuk keluar rumah.
Jose tahu, Jose merasakan. Ia membaca koran langganan Ayahnya. Berita-berita televisi disimaknya. Kabarnya, hari ini akan ada banyak orang turun ke jalan dan berbuat kerusuhan. Jose tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Ayahnya.
** Â Â
"Papa...hari ini Jose melarangku pergi. Aku tidak tahu pasti apa alasannya. Mungkinkah karena ini hari ulang tahun Papa?" bisik Ayah Calvin, mengusap foto sang Papa.
Hening. Ayah Calvin tahu, Papanya tak akan bisa menjawab. Jarak Negeri Pancasila dengan Negeri Kangguru riskan bisa dilawan hanya dengan bisikan lembut.
"Ingin kutemui Papa di Wolangong. Tapi...aku tak bisa meninggalkan Jose. Terlalu berisiko membawa anakku pergi jauh. Maafkan aku, Pa." lanjut Ayah Calvin sedih.
Air bening mulai menggenangi lensa buatan itu. Cepat-cepat Ayah Calvin melepas kacamatanya. Membersihkan benda bulat bening itu dengan ujung jasnya.
Ayah Calvin rindu Opa Effendi, sangat rindu. Setahun lebih mereka tak bertemu. Keduanya terpisah negara dan benua. Meski begitu, mereka dekat di hati.