Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jose Cinta Ayah Calvin Karena Allah

7 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 7 Mei 2019   06:33 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jose Cinta Ayah Calvin Karena Allah


Dear Andrio,

Aku pengen ngobrol-ngobrol lagi sama kamu...kayak dulu. Inget nggak waktu kita pertukaran pelajar? Kamu sering nemenin aku malam-malam keluar kamar asrama. Buat ngapain coba? Cuma buat telepon Ayah Calvin. Abisnya kangen sih...

Kamu juga sering dengerin aku nyanyi buat Ayah. Hmmm, kenapa kamu dijemput Izrailnya cepet banget? Kan aku masih kangen kamu.

Andrio, aku sedih. Akhirnya aku tahu kalo Ayah Calvin sakit. Sakitnya sama kayak kamu. Kena leukemia gimana sih rasanya? Apa kayak kena demam gitu ya? Ah, pasti lebih sakit lagi.

Rasanya aku pengen cepet dewasa. Biar aku bisa jagain Ayah Calvin. Aku mau rawat Ayah Calvin sampai sembuh. Atau aku jadi dokter aja ya? Tapi mataku...

Kemarin aku kesel banget sama karyawan-karyawan yayasan. Aku baru keluar dari ruang piano. Aku dengar mereka bisik-bisik.

"Pssst...pak direktur kafir. Tadi aku liat pak direktur minum sesuatu. Padahal yang lain kan lagi ibadah. Dia malah enak-enakan minum."

Mereka nggak tahu, Andrio. Mereka nggak tahu kalo Ayah Calvin lagi sakit. Dokter Tian udah larang Ayah Calvin ikutan tahun ini. Waktu itu, Ayah Calvin bukannya enak-enakan minum. Tapi Ayah Calvin minum obat. Mungkin nggak sengaja keliatan karyawan.

Adi juga suka bully Ayah. Ayah Jose kafir, gitu katanya. Ah, pengen aku pukul dia. Tapi takut dosa. Andai kamu masih ada...

Kenapa ya, orang-orang susah mengerti? Apa lagi orang dewasa tuh. Orang dewasa sering mikir jelek. Apa yang mereka pikirin belum tentu benar. Mereka langsung mikir jelek tapi nggak tahu kenyataan.

Kamu harus tahu. Ayah Calvin nggak pernah makan-minum di depan aku dan para pelayan di rumah. Ayah Calvin pengertiaaaan banget. Beda sama Adi dan orang-orang yayasan. Harusnya semua orang belajar sama Ayah Calvin.

Sehelai surat terbuka di karpet. Tulisannya berantakan sekali. Tadi sebelum tidur, Jose tergerak menulis surat untuk Andrio. Walau ia tahu, sahabat Sunda-Inggrisnya itu tak mungkin lagi membalas.

**  

"Papa...aku kena kanker lagi." Ayah Calvin bergumam lirih.

Ia berlutut di karpet, menangkupkan pigura foto Papanya. Jarang, jarang sekali Ayah Calvin bercerita. Sebisa mungkin ia menyembunyikan kesakitannya dari siapa pun. Ayah Calvin tak pernah menggunakan penyakit sebagai alasan untuk menyusahkan orang lain.

"Kali ini aku harus lebih kuat. Jose butuh aku. Siapa lagi yang mendampinginya kalau bukan aku?" ucapnya lagi, perih.

Lengan jasnya tersingkap. Masih ada luka-luka gores di sana. Tempo hari, Paman Revan menanyainya. Si mata biru itu bertanya mengapa tangan Ayah Calvin baret-baret begitu. Seperti biasa, Ayah Calvin hanya tersenyum sambil menggoyangkan lengan jas mahalnya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, itu maksudnya.

Seorang ayah yang baik akan melindungi anaknya. Mereka tak perlu tahu. Luka-luka Ayah Calvin karena Jose. Jose harus melawan monster bernama self injury. Perih hati Ayah Calvin tiap kali melihat anak tunggalnya melukai diri. Biarlah tangannya jadi korban.

"Apa aku menulis lagi saja, Pa? Menulis sebagai terapi jiwa...sudah lama aku tak menulis." Ayah Calvin berbisik, mengusap foto Papanya.

Sudah berhari-hari Ayah Calvin tak menulis di blognya. Tekanan, luka, rasa bersalah, kesedihan, dan kesakitan menguras habis energinya. Apa sebaiknya ia kembali menulis lagi?

Jam berdentang dua kali. Gawat, Ayah Calvin lupa! Terburu-buru ia ke kamar Jose.

Pintu kamar terbuka lebar. AC masih menyala. Terlihat Jose duduk di depan piano. Terpatah-patah dia bermain piano sambil bernyanyi. Suaranya tersendat.

Aku ingin engkau selalu

Hadir dan temani aku

Di setiap langkah yang meyakiniku

Kau tercipta untukku...

Jose tak sanggup lagi bernyanyi. Hatinya sakit menahan sedih. Tanpa diminta, Ayah Calvin meneruskan.

Meski waktu akan mampu

Memanggil seluruh ragaku

Kuingin kau tahu

Ku selalu milikmu

Yang menyayangimu sepanjang hidupku...

Punggung Jose menegang. Pelan-pelan ia berbalik. Ayah Calvin memeluknya.

Jose dan Ayah Calvin berpelukan. Inilah yang ditunggu-tunggunya. Ayah Calvin mencium kening Jose. Hadiah manis di sepertiga malam. Makanya Jose tak sabar menanti sepertiga malam. Agar dia bisa melewatkan waktu berdua saja dengan Ayahnya. Tidak jauh, tidak ada yang mengganggu, hening, dan sepi. Waktu sepertiga malam milik mereka berdua. Hanya Allah yang tahu.

"Ayah pucat sekali..." ujar Jose khawatir. Pelan menyentuh wajah Ayahnya.

Wajah itu...tangan itu...terasa dingin. Ayah Calvin tersenyum menenteramkan.

"Jangan khawatir, Sayang. Ayah..."

Kalimatnya menggantung. Ayah Calvin terbatuk. Refleks dilepasnya pelukan. Jose melihat hidung Ayahnya berdarah.

"Jose, tunggu sebentar." pamit Ayah Calvin, lalu membuka pintu.

Nah, ini sering terjadi. Jose mencengkeram erat tepi tempat tidurnya. Ayah Calvin sering meninggalkan Jose untuk muntah atau membersihkan darahnya. Sulit diingkari. Jose takut, takut sekali.

Jose takut ditinggal. Hanya itu. Beberapa jam saja tanpa Ayah Calvin, hati ini rasanya hampa sekali. Kehampaan yang menyakitkan. Pisau ketakutan menusuk-nusuk hati Jose.

Pemuda cilik berparas tampan itu tertunduk dalam. Hatinya tak henti memohon pada Allah. Ia ingin tetap bersama Ayah, begitu permohonannya. Jose paling sedih kalau Ayah Calvin meninggalkannya terlalu lama.

Saat Ayah Calvin kembali, didapatinya Jose bersedih. Wajah Jose lebih pucat dari wajah Ayahnya.

"Jose nggak mau ditinggal Ayah...nggak mau."

Ayah Calvin memeluk Jose tanpa kata. Tidak membentak galak, tidak juga mencoba membuatnya mengerti. Hanya memeluknya, itu saja.

Punggung Ayah Calvin sakit, teramat sakit. Pelukannya bertambah erat. Walau tak mengeluh, Jose tahu Ayahnya kesakitan.

"Ayah Calvin selalu hidup di sini..." Jose menunjuk dadanya.

"Kalau Ayah meninggal, Jose harus tetap semangat ya." pinta Ayah Calvin lembut.

Jose menggeleng kuat. Tidak, Ayah Calvin harus bertahan. Umur Ayah Calvin pastilah panjang.

"Aku mau rawat Ayah sampai sembuh." balas Jose yakin.

Ayah Calvin menghela nafas berat. Mengusap-usap rambut Jose.

"Mungkin 10 tahun lagi Ayah ingin istirahat, Sayang." ujarnya.

"Ayah istirahat dari yayasan, Ayah istirahat ngurus perusahaan. Jadinya, Ayah bisa lebih banyak nulis, jalan-jalan sama Jose, dan bacain buku buat Jose." sela Jose cepat. Ia takut bila Ayahnya punya maksud lain dalam kata 'istirahat'.

Hening. Tangan Ayah Calvin masih membelai rambut Jose penuh kasih. Kedua mata Jose terpejam. Damai, damai sekali di sisi Ayah Calvin.

"Ayah..." panggil Jose pelan.

"Iya, Sayang?"

"Jose cinta Ayah Calvin karena Allah."

Kedua kalinya, Ayah Calvin mencium kening Jose. Jose, anak tunggalnya, anak yang ia rawat sepenuh jiwa. Ayah Calvin akan selalu jadi milik Jose, meski waktu memanggil raganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun