Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Dear Malaikat Izrail] Papa dan Ayah

20 April 2019   06:00 Diperbarui: 20 April 2019   06:06 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Papa dan Ayah


Di atas bumi ini kuberpijak

Pada jiwa yang tenang di hariku

Tak pernah ada duka yang terlintas'

Ku bahagia

Ingin kulukis semua hidup ini

Dengan cinta dan cita yang terindah

Masa muda yang tak pernah 'kan mendung

Ku bahagia

Dalam hidup ini

Arungi semua cerita indahku

Saat-saat remaja yang terindah

Tak bisa terulang

Kuingin nikmati

Segala jalan yang ada di hadapku

'Kan kutanamkan cinta 'tuk kasihku

Agar 'ku bahagia

Silvi bernyanyi dengan sangat bagus. Ia tak banyak improvisasi. Tapi ekspresinya natural.

Ballroom hotel sore itu dipenuhi tepuk tangan. Untuk kesekian kalinya, anak cantik bermata biru itu jadi pengisi acara. Dia bernyanyi bersama bintang tamu yang lain. Lucu dan cantiknya Silvi. Semua mata tertuju padanya.

Selama bernyanyi, mata Silvi tak hentinya menatap Paman Revan dan Ayah Calvin. Tubuh rampingnya menari-nari lincah dan anggun di atas panggung. Bibirnya menyenandungkan untaian lirik lagu. Namun, kedua mata birunya terus terhujam pada Papa dan Ayahnya.

"Lagu ini buat Papa dan Ayah!" kata Silvi lantang, penuh semangat.

Penonton kembali bertepuk. Sebagian memasang wajah bingung. Sebagian berbisik,

"Papa dan Ayah?"

Di bangku barisan depan, Ayah Calvin dan Paman Revan bertukar pandang penuh arti. Jose mengerling Silvi. Ternyata ia tidak berbohong. Ia sungguh-sungguh memberikan lagu itu untuk Ayah Calvin dan Paman Revan.

Jose jadi ingat saat mereka mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia minggu lalu. Guru bertanya tentang tokoh idola.

"Siapa tokoh idola kalian?" tanya Ms. Hanna lembut.

Seisi kelas mengangkat tangan, berebut ingin menceritakan tokoh idola mereka. Jose paling cepat.

"Iya, Jose. Ceritakan tokoh idolamu," Ms. Hana mempersilakannya.

"Tokoh idolaku...Ayah Calvin Wan. Ayah paaaaling hebat sedunia!"

Ms. Hana tersenyum, turun dari meja guru, lalu berjalan ke bangku Jose. Ia bertanya.

"Kenapa Jose mengidolakan pak direktur?"

Karena Ayah Calvin direktur yayasan, guru-guru memanggilnya begitu. Jose menjelaskan dengan mantap.

"Ayah Calvin itu baik, ganteng, rajin ibadah, sabar, suka bantu orang, suka kasih makanan sama orang, nggak pernah marahin pelayan di rumah, pintar, bisa nyanyi, jago main piano, suka masak."

Anak-anak mengangguk setuju. Mereka pun kenal Ayah Calvin. Ms. Hana tersenyum kecil, lalu menawari anak lain untuk bercerita.

Tangan Silvi terangkat ke atas. Wajahnya berseri-seri.

"Tokoh idolakuuuu...Ayah Calvin!"

Jose kaget mendengarnya. Ternyata Silvi juga mengagumi Ayah Calvin. Ia pikir, Silvi akan menyebut Paman Revan.

"Ayah Calvin orangnya tegar. Nggak pernah ngeluh. Kuat."

Ini pastilah karena Silvi pernah melihat Ayah Calvin sakit. Selama sakit, Ayah Calvin tak mengeluh sedikit pun.

"Terus...tokoh idola Silvi satunya, Papa Revan!"

Nah, benar kan?

"Papa Revan matanya bagus. Papa juga bikin Silvi selalu bahagia. Tiap hari Papa masakin bekal yang enak-enak buat Silvi, bacain cerita, pilihin gaun, ajakin Silvi main-main di kantornya, sediain ruangan khusus di kantor buat Silvi...ruangan yang ada hiasan boneka-boneka Princessnya, liburan bareng ke Manado, Turki, sama Paris...wah masih banyak lagi."

Mata Paman Revan biru meneduhkan, persis mata Silvi. Seisi kelas bertepuk tangan.

Dan sore ini, Silvi bernyanyi sepenuh hati untuk kedua ayahnya. Papa bermata biru dan Ayah bermata sipit. Indah sekali.

Boleh saja Silvi dan Jose tak punya Bunda. Tapi, kasih sayang ayah mereka sudah cukup.

"I love you Papa...I love you Ayah." ujar Silvi, lembut dan tulus.

Usai bernyanyi, Silvi dihadiahi pelukan erat dari Ayah Calvin dan Paman Revan. Jose menepuk-nepuk punggungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun