Papa dan Ayah
Di atas bumi ini kuberpijak
Pada jiwa yang tenang di hariku
Tak pernah ada duka yang terlintas'
Ku bahagia
Ingin kulukis semua hidup ini
Dengan cinta dan cita yang terindah
Masa muda yang tak pernah 'kan mendung
Ku bahagia
Dalam hidup ini
Arungi semua cerita indahku
Saat-saat remaja yang terindah
Tak bisa terulang
Kuingin nikmati
Segala jalan yang ada di hadapku
'Kan kutanamkan cinta 'tuk kasihku
Agar 'ku bahagia
Silvi bernyanyi dengan sangat bagus. Ia tak banyak improvisasi. Tapi ekspresinya natural.
Ballroom hotel sore itu dipenuhi tepuk tangan. Untuk kesekian kalinya, anak cantik bermata biru itu jadi pengisi acara. Dia bernyanyi bersama bintang tamu yang lain. Lucu dan cantiknya Silvi. Semua mata tertuju padanya.
Selama bernyanyi, mata Silvi tak hentinya menatap Paman Revan dan Ayah Calvin. Tubuh rampingnya menari-nari lincah dan anggun di atas panggung. Bibirnya menyenandungkan untaian lirik lagu. Namun, kedua mata birunya terus terhujam pada Papa dan Ayahnya.
"Lagu ini buat Papa dan Ayah!" kata Silvi lantang, penuh semangat.
Penonton kembali bertepuk. Sebagian memasang wajah bingung. Sebagian berbisik,
"Papa dan Ayah?"
Di bangku barisan depan, Ayah Calvin dan Paman Revan bertukar pandang penuh arti. Jose mengerling Silvi. Ternyata ia tidak berbohong. Ia sungguh-sungguh memberikan lagu itu untuk Ayah Calvin dan Paman Revan.
Jose jadi ingat saat mereka mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia minggu lalu. Guru bertanya tentang tokoh idola.
"Siapa tokoh idola kalian?" tanya Ms. Hanna lembut.
Seisi kelas mengangkat tangan, berebut ingin menceritakan tokoh idola mereka. Jose paling cepat.
"Iya, Jose. Ceritakan tokoh idolamu," Ms. Hana mempersilakannya.
"Tokoh idolaku...Ayah Calvin Wan. Ayah paaaaling hebat sedunia!"
Ms. Hana tersenyum, turun dari meja guru, lalu berjalan ke bangku Jose. Ia bertanya.
"Kenapa Jose mengidolakan pak direktur?"
Karena Ayah Calvin direktur yayasan, guru-guru memanggilnya begitu. Jose menjelaskan dengan mantap.
"Ayah Calvin itu baik, ganteng, rajin ibadah, sabar, suka bantu orang, suka kasih makanan sama orang, nggak pernah marahin pelayan di rumah, pintar, bisa nyanyi, jago main piano, suka masak."
Anak-anak mengangguk setuju. Mereka pun kenal Ayah Calvin. Ms. Hana tersenyum kecil, lalu menawari anak lain untuk bercerita.
Tangan Silvi terangkat ke atas. Wajahnya berseri-seri.
"Tokoh idolakuuuu...Ayah Calvin!"
Jose kaget mendengarnya. Ternyata Silvi juga mengagumi Ayah Calvin. Ia pikir, Silvi akan menyebut Paman Revan.
"Ayah Calvin orangnya tegar. Nggak pernah ngeluh. Kuat."
Ini pastilah karena Silvi pernah melihat Ayah Calvin sakit. Selama sakit, Ayah Calvin tak mengeluh sedikit pun.
"Terus...tokoh idola Silvi satunya, Papa Revan!"
Nah, benar kan?
"Papa Revan matanya bagus. Papa juga bikin Silvi selalu bahagia. Tiap hari Papa masakin bekal yang enak-enak buat Silvi, bacain cerita, pilihin gaun, ajakin Silvi main-main di kantornya, sediain ruangan khusus di kantor buat Silvi...ruangan yang ada hiasan boneka-boneka Princessnya, liburan bareng ke Manado, Turki, sama Paris...wah masih banyak lagi."
Mata Paman Revan biru meneduhkan, persis mata Silvi. Seisi kelas bertepuk tangan.
Dan sore ini, Silvi bernyanyi sepenuh hati untuk kedua ayahnya. Papa bermata biru dan Ayah bermata sipit. Indah sekali.
Boleh saja Silvi dan Jose tak punya Bunda. Tapi, kasih sayang ayah mereka sudah cukup.
"I love you Papa...I love you Ayah." ujar Silvi, lembut dan tulus.
Usai bernyanyi, Silvi dihadiahi pelukan erat dari Ayah Calvin dan Paman Revan. Jose menepuk-nepuk punggungnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H