Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[3 Pria, 3 Cinta, 3 Luka] Satu Miliar Titik Cahaya

22 Februari 2019   06:00 Diperbarui: 22 Februari 2019   05:59 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-Semesta Calvin, Tuan Effendi, dan Dokter Tian-

Malam sebelum pernikahan, mereka semua berkumpul di rumah mewah tepi pantai. Abi Assegaf secara khusus meminta Revan, Dokter Tian, dan Tuan Effendi menginap. Sebenarnya Adica keberatan, tetapi ia tak kuasa mencegah.

Anehnya, Abi Assegaf hanya ingin ditemani Calvin di master suite. Menebak-nebak perasaan warga senior gampang-gampang susah. Baru ditinggal setengah jam karena Calvin sudah janjian Skype dengan temannya yang tinggal di Tiongkok, ia mendapati Abi Assegaf tengah menyayat jari manisnya dengan pisau. Ia berlari ke dekat ranjang, lembut tapi tegas mengambil pisau itu.

"Kenapa Abi melakukan ini?" tanya Calvin, kekhawatiran tercermin di matanya.

Abi Assegaf tertunduk dalam. "Benarkah Adeline mencintai Abi?"

"Tentu saja. Saya percaya Nyonya Adeline mencintai Abi. Kalau tidak cinta, mana mungkin Nyonya Adeline mau memeluk Islam dan rujuk lagi?"

"Abi tak pants untuk Adeline..."

"Abi pantas bahagia. Nyonya Adeline yang terbaik untuk Abi."

Gemuruh di dada Calvin sedikit mereda. Setidaknya, ia berhasil mencegah Abi Assegaf melanjutkan aksi self abuse-nya. Dengan lembut, Calvin mengobati luka Abi Assegaf.

"Setelah Abi menikah, apa kamu akan meninggalkan Abi?"

"Tidak. Aku akan tetap jadi mata untuk Abi."

Sampai mataku bisa kuberikan, lanjut Calvin dalam hati. Sedikit warna kembali menepi di wajah pucat itu.

"Sedih sekali Abi harus menikah tanpa melihat setitik cahaya pun...tanpa bisa melihat wajah Adeline."

"Pada waktunya nanti, Abi tidak hanya bisa melihat setitik cahaya. Tapi satu Milyar titik cahaya."

Bersabar dan menunggu jalan kesembuhan, hanya itu yang bisa dilakukan Abi Assegaf. Demi membasuh kesedihan calon mempelai pria, Calvin bernyanyi dan bermain piano untuknya.


Tenanglah kekasihku

Ku tahu hatimu menangis

Beranilah dan percaya

Semua ini pasti berlalu

Meski takkan mudah

Namun kau takkan sendiri

Ku ada di sini

Untukmu aku akan bertahan

Dalam gelap takkan kutinggalkan

Engkaulah teman sejati kasihku

Di setiap hariku

Untuk hatimu ku kan bertahan

Sebentuk hati yang kunantikan

Hanya kau dan aku yang tahu

Arti cinta yang telah kita punya (Afgan-Untukmu Aku Bertahan).

**    

Dari CCTV di lantai bawah, Tuan Effendi melihat semua itu. Matanya berkaca-kaca. Air mata kesedihan, bercampur kemarahan, bercampur kekecewaan, tumpah. Calvin teramat perhatian pada ayah keduanya. Kapankah ia diberi perhatian sebanyak itu?

Susah payah Tuan Effendi menahan hasrat alter egonya. Ia berhasrat naik ke master suite, menyeret paksa Calvin menjauh dari Abi Assegaf, dan membawanya pulang ke villa. Tidak, ia tidak boleh egois. Dikuatkannya hati.

Sakit, sakit sekali menatapi buah hatinya mencurahi ayah lain dengan berupa-rupa perhatian. Sementara itu, pemilik asli terabaikan. Pikiran negatif tumbuh liar di kepala Tuan Effendi. Mungkinkah Calvin dendam padanya? Mungkinkah Calvin sengaja membalas pedih hatinya karena ditelantarkan begitu lama?

"Calvin bukan orang yang pendendam. Percayalah."

Sebuah suara barithon merobek tirai kesedihan. Dokter Tian datang membawa dua gelas cappucino.

Tuan Effendi pelan mengucap terima kasih. Menyesap minuman favoritnya.

"Hatinya terbagi. Potongan hatinya yang pertama dia berikan untuk Assegaf, yang kedua untuk Anda. Assegaf datang lebih dulu dalam hidupnya. Anda harus mengerti."

"Lalu, kapan dia mengerti saya?"

Dokter Tian mengangkat bahu. Hanya waktu yang mampu menjawab. Urusan ini tak semudah mengirimkan DM di Instagram. Terlalu runyam, terlalu banyak pertimbangan, dan terlalu dalam memakai hati.

Tak lama, Adica dan Revan bergabung dengan mereka. Adica bertolak pinggang dengan angkuh saat menatap CCTV.

"Si Calvin punya Kutukan Imperius atau Patronus ya? Kok Abi bisa lengket banget sama dia?"

Revan tertawa. Dipukulnya pelan punggung Adica.

"Yeeee, memangnya kita di dunia sihir ciptaannya J. K. Rowling?" komentarnya.

"Abis...sejak ada Calvin, Abi jadi lupa padaku."

"Kamu yang lupa padanya," Tuan Effendi menimpali, nadanya dingin.

Adica mengerutkan dahi. Tuan Effendi kembali bersuara.

"Gegara kamu tak punya waktu, Assegaf mencari caregiver. Dan datanglah Calvin."

"Jadi, Om Effendi mau menyalahkanku?"

Suasana memanas. Revan dan Dokter Tian menengahi. Belum sempat adu argumen itu reda, telepon berdering. Adica yang duduk paling dekat meja telepon, mengangkatnya.

Semenit. Tiga menit. Lima menit, pesawat telepon di tangannya jatuh bergemeretak. Tiga pasang mata memandangnya waswas. Adica bernafas cepat, wajahnya pias, dari matanya terhambur kristal bening.

"Ummi...!"

**     

Malam bahagia itu rusak seketika. Semua yang bahagia lesap. Tergantikan hantaman kesedihan yang menghebat.

Koridor rumah sakit gaduh. Derit kursi roda, derak brankar, suara-suara bernada panik, dan teriakan kedukaan menggema. Pasien lain terganggu? Who care?

"Ummi...Ummi, bertahan Ummi. Ummi Adeline tak boleh tinggalkan Adica. Besok Ummi akan menikah lagi dengan Abi." Adica memohon-mohon, mencengkeram tangan Adeline. Tangan putih itu menjuntai di tepi ranjang, sedingin Prospect Creek Alaska.

"Adeline, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku dan Adica. Aku takut kita berpisah sebelum bersatu."

Abi Assegaf membungkuk, mengecup tangan Adeline yang satunya. Dua pria istimewa dalam hidup Adeline itu menangis. Tersedu. Mengeluarkan air mata yang dianggap haram bagi sebagian besar putra Adam.

Calvin, Tuan Eeffendi, dan Dokter Tian tak kalah sedihnya. Hati Calvin tersayat perih. Ombak kesedihan menggulungnya rapat-rapat. Ingatan akan proses sakaratul maut Mamanya terlompat ke permukaan. Kemarahan Tuan Effendi lenyap. Tergantikan empati terdalam. Dokter Tian mengerjapkan mata. Tidak boleh, Adeline tidak boleh meninggal, pikirnya kalut. Jangan ada kehilangan lagi. Cukup putrinya saja.

Tim dokter terbaik menangani Adeline. Mereka bekerja semaksimal mungkin. Luka-lukanya parah sekali. Kecelakaan itu membuat kondisinya kritis.

Satu, dua, tiga, empat jam mereka menanti. Pintu putih di hadapan mereka membuka pelan. Seorang dokter senior keluar dengan wajah kusut. Segera saja Dokter Tian memburu koleganya, meminta penjelasan.

"Ibu Adeline sudah sadar. Dia ingin bicara dengan Pak Assegaf."

Spontan Calvin dan Adica menggandeng tangan Abi Assegaf. Adica di sebelah kiri, Calvin di sebelah kanan. Tiba di dalam, gelembung kesedihan makin membesar. Adeline terbaring tak berdaya. Seluruh tubuhnya dipasangi peralatan medis. Kecil kemungkinannya untuk bertahan.

"Assegaf..." Lirih, lirih sekali Adeline menyebut nama pria terbaik dalam hidupnya.

"Aku di sini, Adeline." Abi Assegaf menggenggam erat tangan berjari lentik itu.

Dua bulir air mata membasahi pipi Adeline. "Maaf, aku tak bisa menua bersamamu."

"Jangan berkata begitu, Ummi. Ummi pasti sembuh. Ummi akan berkumpul lagi dengan kita!" sela Adica setengah terisak.

Adeline menggeleng lemah. Calvin didera ketakutan. Ia tahu, sungguh ia tahu ini takkan lama lagi. Firasatnya selalu benar.

"Calvin, terima kasih kamu mau menjadi mata untuk Assegaf." Adeline melanjutkan.

"Dan saya tahu surat itu. Kamu tak perlu melakukannya, Sayang. Kamu harus meneruskan hidup."

Kebingungan melintas di wajah Adica dan Abi Assegaf. Apa yang mereka bicarakan? Calvin menggeleng-gelengkan kepalanya, ekspresinya kalut.

"Assegaf, sebentar lagi kamu takkan berteman dengan kegelapan. Satu Milyar titik cahaya siap menantimu."

Abi Assegaf merengkuh Adeline ke pelukannya. "Lebih baik aku buta selamanya dari pada harus kehilanganmu. Kebutaan lebih ringan bila dilewati dengan cinta. Pandanganku gelap pekat, tapi hatiku penuh cahaya cintamu. Aku mencintaimu, Adeline."

"Aku sangat mencintaimu, Assegaf."

Helaan nafas Adeline memberat. Satu, dua, tiga kali helaan nafas, kalimat Tauhid terlantun dari bibir indahnya. Adeline terlelap abadi dalam pelukan Abi Assegaf.

Adica jatuh terempas di atas lututnya sendiri. Dokter Tian menggumamkan kalimat Istirja. Tuan Effendi sedih dan shock. Walau sudah menduga, hati Calvin dibanjiri duka.

"Ummi! Ummi jangan tinggalkan aku! Ummi pasti hanya tidur!"

Kesedihan menghancurkan hati yang kuat. Tak pernah, tak pernah sebelumnya Calvin melihat Adica kehilangan kontrol diri. Saat ia berhenti dari dunia hiburan pun, ia tidak sesedih ini.

Suara Calvin bergetar saat melantunkan ayat.

"Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah irji'ii ilaa Rabbiki raadhiyatan mardhiyyah Fadkhulii fii 'ibaadii wadkhulii jannatii."

**    

Epilog

Calvin berdiri di depan ratusan karyawan. Semua mata tertuju padanya. Pujian-pujian tulus dilemparkan untuknya. Kerja kerasnya layak dipuji selama lima tahun terakhir.

Terakhir kali ia datang ke sini, seminggu yang lalu. Dokter Tian berlutut di depan makam marmer. Diletakkannya bunga paling segar dan paling wangi. Mengusap ukiran nama putrinya dengan lembut.

Lembut, lembut sekali Abi Assegaf mengajari anak-anak itu Huruf Braille. Mereka semua menurut padanya. Ada yang belajar cukup cepat, ada yang lambat. Anak-anak istimewa di yayasan sosial itu suka sekali diajari Abi Assegaf. Andai gelap tak menutup pandangan, mereka pasti bisa melihat betapa bening bercahaya mata Abi Assegaf. Mata yang sehat dan kini digunakan untuk beribu kebaikan.

Kebaikan memutihkan hati Tuan Effendi. Kebaikan yang membuatnya mampu tersenyum ikhlas setiap minggu untuk menyambut dan melepas Calvin. Awal minggu kedua, ia sibuk merapikan kamar putranya. Memastikan semuanya rapi saat sang anak pulang sore nanti. Siklus berganti, tiap dua minggu dia bertemu Calvin. Dua minggu sisanya Calvin lewatkan di rumah mewah tepi pantai. Pergantian siklus itu tak boleh disia-siakan. Tuan Effendi tetap tersenyum, satu tangannya merapikan bedcover. Tak mengapa, sungguh tak mengapa ia harus begini untuk melewatkan sisa usia.

Usia menggerus waktu, namun Adica tak peduli. Janjinya untuk selibat demi keluarga tetap konsisten. Seperti Abi Assegaf yang bersumpah takkan menikah lagi. Mengejar tujuan yang lebih besar: bertemu Adeline di akhirat. Sumpah Abi Assegaf menginspirasinya. Sekali lagi, ia tatapi refleksi diri di cermin. Perfekto, pikirnya. Ia lalu melangkah, bersiap menggeluti tumpukan dokumen dan grafik. Ini pilihannya, ini hidupnya. Bukankah hidup adalah sekumpulan pilihan?

Pilihan hidupnya untuk menikahi gadis Turki sudah tepat. Revan tak puas-puas memandangi istri cantiknya. Pelan membelai perut yang terisi calon penerusnya.

"Buku hidupmu akan dimulai,Nak." Revan berbisik lembut.

Kehidupan seperti buku tulis isi 60 lembar, 90 lembar, atau 100 lembar. Kita takkan tahu berapa lembar buku tulis yang kita miliki. Allah yang memilihkan. Setiap lembar adalah jatah umur kita. Lembar terakhir, itulah saatnya buku kehidupan ditutup.

Pilihan Tuhan selalu benar. JanjiNya tak pernah terlambat. Karena Tuhan itu...sangat tepat waktu.

***   

T A M A T

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun