"Jangan berkata begitu, Ummi. Ummi pasti sembuh. Ummi akan berkumpul lagi dengan kita!" sela Adica setengah terisak.
Adeline menggeleng lemah. Calvin didera ketakutan. Ia tahu, sungguh ia tahu ini takkan lama lagi. Firasatnya selalu benar.
"Calvin, terima kasih kamu mau menjadi mata untuk Assegaf." Adeline melanjutkan.
"Dan saya tahu surat itu. Kamu tak perlu melakukannya, Sayang. Kamu harus meneruskan hidup."
Kebingungan melintas di wajah Adica dan Abi Assegaf. Apa yang mereka bicarakan? Calvin menggeleng-gelengkan kepalanya, ekspresinya kalut.
"Assegaf, sebentar lagi kamu takkan berteman dengan kegelapan. Satu Milyar titik cahaya siap menantimu."
Abi Assegaf merengkuh Adeline ke pelukannya. "Lebih baik aku buta selamanya dari pada harus kehilanganmu. Kebutaan lebih ringan bila dilewati dengan cinta. Pandanganku gelap pekat, tapi hatiku penuh cahaya cintamu. Aku mencintaimu, Adeline."
"Aku sangat mencintaimu, Assegaf."
Helaan nafas Adeline memberat. Satu, dua, tiga kali helaan nafas, kalimat Tauhid terlantun dari bibir indahnya. Adeline terlelap abadi dalam pelukan Abi Assegaf.
Adica jatuh terempas di atas lututnya sendiri. Dokter Tian menggumamkan kalimat Istirja. Tuan Effendi sedih dan shock. Walau sudah menduga, hati Calvin dibanjiri duka.
"Ummi! Ummi jangan tinggalkan aku! Ummi pasti hanya tidur!"