Kesedihan menghancurkan hati yang kuat. Tak pernah, tak pernah sebelumnya Calvin melihat Adica kehilangan kontrol diri. Saat ia berhenti dari dunia hiburan pun, ia tidak sesedih ini.
Suara Calvin bergetar saat melantunkan ayat.
"Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah irji'ii ilaa Rabbiki raadhiyatan mardhiyyah Fadkhulii fii 'ibaadii wadkhulii jannatii."
** Â Â
Epilog
Calvin berdiri di depan ratusan karyawan. Semua mata tertuju padanya. Pujian-pujian tulus dilemparkan untuknya. Kerja kerasnya layak dipuji selama lima tahun terakhir.
Terakhir kali ia datang ke sini, seminggu yang lalu. Dokter Tian berlutut di depan makam marmer. Diletakkannya bunga paling segar dan paling wangi. Mengusap ukiran nama putrinya dengan lembut.
Lembut, lembut sekali Abi Assegaf mengajari anak-anak itu Huruf Braille. Mereka semua menurut padanya. Ada yang belajar cukup cepat, ada yang lambat. Anak-anak istimewa di yayasan sosial itu suka sekali diajari Abi Assegaf. Andai gelap tak menutup pandangan, mereka pasti bisa melihat betapa bening bercahaya mata Abi Assegaf. Mata yang sehat dan kini digunakan untuk beribu kebaikan.
Kebaikan memutihkan hati Tuan Effendi. Kebaikan yang membuatnya mampu tersenyum ikhlas setiap minggu untuk menyambut dan melepas Calvin. Awal minggu kedua, ia sibuk merapikan kamar putranya. Memastikan semuanya rapi saat sang anak pulang sore nanti. Siklus berganti, tiap dua minggu dia bertemu Calvin. Dua minggu sisanya Calvin lewatkan di rumah mewah tepi pantai. Pergantian siklus itu tak boleh disia-siakan. Tuan Effendi tetap tersenyum, satu tangannya merapikan bedcover. Tak mengapa, sungguh tak mengapa ia harus begini untuk melewatkan sisa usia.
Usia menggerus waktu, namun Adica tak peduli. Janjinya untuk selibat demi keluarga tetap konsisten. Seperti Abi Assegaf yang bersumpah takkan menikah lagi. Mengejar tujuan yang lebih besar: bertemu Adeline di akhirat. Sumpah Abi Assegaf menginspirasinya. Sekali lagi, ia tatapi refleksi diri di cermin. Perfekto, pikirnya. Ia lalu melangkah, bersiap menggeluti tumpukan dokumen dan grafik. Ini pilihannya, ini hidupnya. Bukankah hidup adalah sekumpulan pilihan?
Pilihan hidupnya untuk menikahi gadis Turki sudah tepat. Revan tak puas-puas memandangi istri cantiknya. Pelan membelai perut yang terisi calon penerusnya.