"Ummi...Ummi, bertahan Ummi. Ummi Adeline tak boleh tinggalkan Adica. Besok Ummi akan menikah lagi dengan Abi." Adica memohon-mohon, mencengkeram tangan Adeline. Tangan putih itu menjuntai di tepi ranjang, sedingin Prospect Creek Alaska.
"Adeline, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku dan Adica. Aku takut kita berpisah sebelum bersatu."
Abi Assegaf membungkuk, mengecup tangan Adeline yang satunya. Dua pria istimewa dalam hidup Adeline itu menangis. Tersedu. Mengeluarkan air mata yang dianggap haram bagi sebagian besar putra Adam.
Calvin, Tuan Eeffendi, dan Dokter Tian tak kalah sedihnya. Hati Calvin tersayat perih. Ombak kesedihan menggulungnya rapat-rapat. Ingatan akan proses sakaratul maut Mamanya terlompat ke permukaan. Kemarahan Tuan Effendi lenyap. Tergantikan empati terdalam. Dokter Tian mengerjapkan mata. Tidak boleh, Adeline tidak boleh meninggal, pikirnya kalut. Jangan ada kehilangan lagi. Cukup putrinya saja.
Tim dokter terbaik menangani Adeline. Mereka bekerja semaksimal mungkin. Luka-lukanya parah sekali. Kecelakaan itu membuat kondisinya kritis.
Satu, dua, tiga, empat jam mereka menanti. Pintu putih di hadapan mereka membuka pelan. Seorang dokter senior keluar dengan wajah kusut. Segera saja Dokter Tian memburu koleganya, meminta penjelasan.
"Ibu Adeline sudah sadar. Dia ingin bicara dengan Pak Assegaf."
Spontan Calvin dan Adica menggandeng tangan Abi Assegaf. Adica di sebelah kiri, Calvin di sebelah kanan. Tiba di dalam, gelembung kesedihan makin membesar. Adeline terbaring tak berdaya. Seluruh tubuhnya dipasangi peralatan medis. Kecil kemungkinannya untuk bertahan.
"Assegaf..." Lirih, lirih sekali Adeline menyebut nama pria terbaik dalam hidupnya.
"Aku di sini, Adeline." Abi Assegaf menggenggam erat tangan berjari lentik itu.
Dua bulir air mata membasahi pipi Adeline. "Maaf, aku tak bisa menua bersamamu."