Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[3 Pria, 3 Cinta, 3 Luka] Layang-layang, Cerminan Hidup Indah

21 Februari 2019   06:00 Diperbarui: 21 Februari 2019   06:09 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-Semesta Calvin-

Bagi Calvin, hidup yang indah itu seperti layang-layang. Ada naik, ada turun. Terus-menerus berada di puncak akan menjenuhkan. Perlu sesekali turun agar menjadi luar biasa pada saat naik lagi nantinya. Terus berada di bawah pun tak baik. Turun terlalu lama dapat melahirkan pesimistis dan rendah diri.

Bertahun-tahun lamanya ia berada di bawah. Kini, takdir menuntunnya naik ke puncak. Bahagiakah Calvin? Tentu saja.

Ia terkejut ketika Tuan Effendi telah menyiapkan semua untuknya. Nama Calvin tertera paling atas dalam daftar ahli waris keluarga besar. Calvin akan meneruskan perusahaan.

"I proud of you. Salam bangga dari Baba untukmu." tulis Revan di Whatsappnya pagi itu. Baba, panggilan ayah dalam Bahasa Turki.

Calvin tersenyum, lalu mengetikkan balasan. Diedarkannya pandang ke sekeliling ruang kerja direktur. Pada waktunya, ruangan ini akan jadi miliknya.

Langit pagi ini biru cerah, secerah hatinya. Tak sabar rasanya ingin cepat lulus. Semangat hidupnya membubung. Belum lama menikmati sensasi kebahagiaan, seorang staf mengabarkan ada tamu untuknya.

Pintu jati itu membuka. Adica berdiri di ambangnya. Calvin buru-buru beranjak. Di luar dugaan, Adica memeluk Calvin. Bagai pelukan adik pada kakaknya.

Lihatlah, relasi pun naik-turun. Tempo hari, Calvin dan Adica bertengkar. Pagi ini, mereka berpelukan. Adica pelan membisikkan.

"Kontrak-kontrak eksklusifku di label rekaman dan televisi diputus."

"Kenapa?"

"Seorang make up artist menghina Abi. Katanya, Abi pria botak, buta, dan berpenyakit serius. Kupukul dia. Dia merekamnya, lalu memviralkan video itu. Tahu sendirilah, public figure yang bermasalah akan langsung dideportasi dari dunia hiburan."

"I see. That's too bad. I feel sorry for you."

Adica mendesah pasrah. "Dulu, aku keluar dari radio karena dituduh affair dengan penyiar yang sudah berkeluarga. Padahal kami hanya pelukan. Sekarang...hmmmm mungkin bukan takdirku di dunia entertain."

"Begitulah orang Indonesia, Adica. Menyepelekan hal kecil, tidak terbiasa dengan budaya pelukan, dan suka mengurusi hidup orang lain."

Calvin sabar dan lembut mendengarkan curahan hati mantan seterunya. Ia memuji tekad Adica untuk fokus mengurus perusahaan-perusahaan Abi Assegaf.

**   


Ada cinta yang sejati

Ada sayang yang abadi

Walau kau masih memikirkannya

Aku masih berharap kau milikku... (Isyana Sarrasvati-Masih Berharap).

Alunan piano menyambut Adica dan Calvin. Mereka baru tiba di rumah mewah tepi pantai.

Sebuah keajaibankah? Mungkin iya, mungkin tidak. Ataukah hanya fluktuasi naik-turunnya layang-layang hubungan cinta? Entahlah.

Terlihat Abi Assegaf memainkan piano dan Adeline menyanyi. Mereka serasi sekali. Duduk bersanding di depan grand piano cantik. Sejuk hati Calvin dan Adica.

"Abi...Ummi." panggil Adica pelan.

Adeline menoleh. Tangan Abi Assegaf meraih ke depan, Adica menyentuhnya. Menit berikutnya, ketiga anggota keluarga Assegaf berpelukan.

Senyuman Calvin merekah. Menyejukkan sewaktu melihat Abi Assegaf, Adica, dan Adeline memutus jarak di antara mereka. Akankah keluarga itu bersatu lagi?

Perlahan Calvin mendekat. Langkahnya menimbulkan suara di karpet. Abi Assegaf mendengarnya.

"Calvin...kamu di sini juga kan, Nak?" Ia memastikan.

"Iya, Abi. Calvin di sini."

Mudah mengenali Calvin dari suara bassnya yang khas dan wangi Blue Seduction dari tubuhnya.

"Bagaimana sambutan karyawan perusahaanmu, Sayang?"

Calvin tertawa kecil. "Belum jadi perusahaanku, Abi. Yah...mereka wellcome."

"Alhamdulillah." Abi Assegaf tersenyum lega.

"Kamu tidak akan meninggalkan Abi...?"

"Tidak, Abi."

"Aku juga tidak akan meninggalkanmu lagi, Assegaf." sela Adeline.

Masih Berharap bukan sekedar lagu, kan? Calvin dan Adica melirik antusias ke arah Adeline. Adeline melempar senyum menawan, menautkan jemarinya pada Abi Assegaf, lalu berujar.

"Ummi dan Abi akan menikah lagi."

Bertaburan, konfeti kebahagiaan itu sempurna bertaburan. Demi mendengar itu, Adica dan Calvin bertoast. Ekspektasi mereka tercapai.

"Dan mulai hari ini," kata Adica seraya menepukkan tangan.

"Aku akan tinggal bersama Abi."

Bahagia kembali buncah. Di luar sana, laut bernyanyi bersama ombak. Tuhan menumpahkan berliter madu di rumah ini.

"Abi tidak perlu caregiver lagi. Iya kan?" lanjut Adica senang.

"Tidak. Tapi Abi tetap butuh Calvin. Kamu dan Calvin anak-anak Abi."

Mereka berempat menyerukan kebahagiaan. Berpelukan satu sama lain. Hubungan keluarga kembali naik ke puncak.

**   

-Semesta Tuan Effendi-

Sore Menulis Cerita dimulai lagi. Kali ini full team. Ada "Opa Effendi" dan "Kakak Malaikat".

Anak-anak nelayan tersenyum riang. Sibuk berebut kertas dan pensil. Ide Calvin untuk membuat cerita dalam tulisan tangan. Kalaupun ada yang memiliki gadget, jangan memakainya. Menulis dengan tangan jauh lebih berkesan. Ketahanannya dalam ingatan juga lebih lama.

Banyak anak mengeluh. Tangan mereka pegal karena kebanyakan menulis. Calvin menenangkan mereka dengan sabar.

Diam-diam Tuan Effendi menikmati momen ini. Jarang sekali ia punya kesempatan berlama-lama di dekat Calvin. Selalu saja Calvin memprioritaskan Abi Assegaf. Sebagian besar waktunya untuk mantan pebisnis itu. Hati Tuan Effendi ternoda cemburu. Cemburu pada Abi Assegaf yang bisa memiliki Calvin seutuhnya.

"My Dear Calvin, Papa ingin bicara sebentar." pinta Tuan Effendi saat ada kesempatan.

Mereka melangkah ke sudut taman bacaan. Calvin melayangkan tatapan, menunggu sang Papa menyampaikan sesuatu.

"Sebentar lagi Assegaf dan Adeline akan menikah. Kapan kau akan tinggal bersama Papa?"

Dihadiahi pertanyaan itu, Calvin terenyak. Hatinya bercabang. Di satu sisi, dia ingin tinggal bersama ayah kandungnya. Di sisi lain, berat rasanya meninggalkan Abi Assegaf.

"Aku tidak bisa kemana-mana, Pa." Calvin berujar lembut.

Tuan Effendi menghempas nafas. Bersandar di dinding dengan kedua lengan terlipat.

"Kamu selalu ada waktu untuk Assegaf. Lalu kapan untuk Papa?"

"Aku hanya satu, Pa. Waktu 24 jam harus dibagi...dalam keadaan seperti ini, Abi Assegaf butuh aku."

Mata Tuan Effendi berkilat. "Memangnya Papa tidak butuh kamu?"

"Aku punya tanggung jawab, Pa. Abi Assegaf sakit dan aku harus merawatnya."

"Sudah ada Adica dan Adeline. Assegaf itu sangat tergantung padamu. Maunya terus kautemani."

"Wajar, Pa. Abi Assegaf kesepian. Dari awal, hanya aku yang punya waktu untuknya."

Siapa menduga dia akan terjebak dalam situasi kompleks. Anak semata wayangnya begitu dibutuhkan orang lain, tanpa menyisakan sedikit waktu untuknya. Sesal menghinggapi hati. Ia menyesal lantaran terlambat menemukan anaknya. Andai saja Tuan Effendi lebih dulu bertemu Calvin dari pada Abi Assegaf.

"Maafkan aku...tapi aku sudah punya tanggung jawab."

Setetes kekaguman jatuh. Ya, Tuan Effendi mengagumi Calvin yang mampu bertanggung jawab. Tipikal pemuda berpendirian teguh yang sulit dibelok-belokkan. Ini baik sekali bila tiba saatnya dia memimpin perusahaan dan berkeluarga. Kelak Calvin akan lebih menghargai perusahaan dan istrinya.

Mengalah, itulah yang dilakukan Tuan Effendi. Ada waktunya harus mengalah untuk meraih kemenangan yang lebih besar. Baiklah, kali ini Abi Assegaf yang menang. Tapi nanti...

**    

-Semesta Dokter Tian-

Layang-layang cinta Dokter Tian naik, terus naik. Awalnya hanya menjadi saksi pembaiatan seorang mualaf, lalu kiriman lunchbox, kini berujung dinner romantis. Tak ada lagi masakan tradisional etnik. Suasana modern nan romantis menjadi pilihan.

Selera Nyonya Dinda cukup tinggi. Diajaknya Dokter Tian dinner di resto berinterior mewah. Tiap mejanya dihiasi bunga. Lampu-lampu gantung menambah kesan romantis. Tamu-tamu resto ini diharuskan berbaju rapi dan tidak boleh mengenakan sandal. Mereka menikmati spaghetti al granchio con pomodorini e bassilica, spaghetti dengan campuran kepiting dan saus tomat ceri.

"Aku senang kamu punya waktu untukku," Nyonya Dinda menggenggam tangan Dokter Tian.

"Kenapa dari dulu kita tidak begini ya?"

Dokter Tian tersenyum. "Semua ada waktunya, Dinda. Ada waktunya naik, ada waktunya turun."

"Maafkan semua kesalahanku, Tian. Aku janji akan memperbaiki semuanya."

"Jangan berjanji, berikan saja bukti."

"Ah, aku lupa. Kamu tak suka janji..."

Dentang lonceng kecil yang menggantung di pintu restoran mengalihkan atensi mereka. Mata Dokter Tian tertarik ke arah pintu. Calvin melangkah masuk. Membalas senyuman ramah door man. Terlihat ia menempati meja no. 9. 9, angka kesukaannya. Angka cantik tanggal lahirnya.

"Calvinku..." Dokter Tian berucap tanpa suara.

"Oh Tian, please... bisa tidak, sehari saja kaulupakan urusan pasien?"

Tidak, tidak bisa. Terlalu besar rasa sayangnya untuk Calvin.

Ada yang ganjil. Bukan karena Calvin datang sendirian, tetapi karena wajahnya pucat. Gerakannya pelan sekali, seolah tulang rusuknya mau patah. Kekhawatiran membelit hati Hematolog itu.

Apa yang ditakutkannya terjadi. Calvin muntah darah. Ya, Dokter Tian lihat semua itu.

Ia tak bisa tinggal diam. Sedikit egoistis Nyonya Dinda lesap. Mereka berdua berlari ke meja 9. Kurang dari sepuluh menit, mereka telah melarikan Calvin ke rumah sakit.

Merinding Nyonya Dinda melihat gumpalan darah. Dokter Tian cemas luar biasa. Setiba di rumah sakit, dikontaknya orang-orang terdekat Calvin. Dalam hati ia bertaruh pada dirinya sendiri, siapakah yang datang paling cepat?

Taruhannya meleset. Bukan Tuan Effendi, tetapi Abi Assegaf. Pria itu melepas gandengan tangan Adica dan Adeline, lalu berjalan cepat dengan tongkatnya. Berbahaya sekali. Hanya karena dorongan rasa sayang dan rasa membutuhkan.

Revan datang berikutnya. Sorot kepanikan terpancar di mata birunya. Tuan Effendi tiba paling akhir.

"Calvin perlu transfusi darah sekarang juga." kata Dokter Tian.

"Ambil darah saya. Golongan darah saya sama dengan Calvin." Abi Assegaf mengajukan diri dengan berani. Adica dan Adeline lembut menyentuh lengannya. Berbisik mengingatkan.

"Abi...Abi lupa ya? Abi tak bisa mendonorkan darah untuk Calvin."

"Iya, Assegaf. Adica benar. Kau punya penyakit jantung."

Abi Assegaf begitu sedih. Rasa tak berguna menampar hati Tuan Effendi. Golongan darahnya berbeda. Calvin mewarisi golongan darah mendiang Mamanya.

"Biar Revan saja," tawar Revan yakin.

Hati mereka berangsur lega. Satu permasalahan menemukan jalannya.

Sepanjang malam, mereka stay di rumah sakit. Kembali Adica iri pada Calvin. Abi Assegaf sangat menyayanginya. Sampai-sampai ia rela waktu tidurnya habis demi menjaga Calvin. Adeline memeluk pundaknya, tersenyum lembut.

"Begitulah Abimu, Sayang. Kalau sudah cinta, bahkan gunung pun akan dipindahkannya untuk orang yang dia cintai."

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun