"Sebentar lagi Assegaf dan Adeline akan menikah. Kapan kau akan tinggal bersama Papa?"
Dihadiahi pertanyaan itu, Calvin terenyak. Hatinya bercabang. Di satu sisi, dia ingin tinggal bersama ayah kandungnya. Di sisi lain, berat rasanya meninggalkan Abi Assegaf.
"Aku tidak bisa kemana-mana, Pa." Calvin berujar lembut.
Tuan Effendi menghempas nafas. Bersandar di dinding dengan kedua lengan terlipat.
"Kamu selalu ada waktu untuk Assegaf. Lalu kapan untuk Papa?"
"Aku hanya satu, Pa. Waktu 24 jam harus dibagi...dalam keadaan seperti ini, Abi Assegaf butuh aku."
Mata Tuan Effendi berkilat. "Memangnya Papa tidak butuh kamu?"
"Aku punya tanggung jawab, Pa. Abi Assegaf sakit dan aku harus merawatnya."
"Sudah ada Adica dan Adeline. Assegaf itu sangat tergantung padamu. Maunya terus kautemani."
"Wajar, Pa. Abi Assegaf kesepian. Dari awal, hanya aku yang punya waktu untuknya."
Siapa menduga dia akan terjebak dalam situasi kompleks. Anak semata wayangnya begitu dibutuhkan orang lain, tanpa menyisakan sedikit waktu untuknya. Sesal menghinggapi hati. Ia menyesal lantaran terlambat menemukan anaknya. Andai saja Tuan Effendi lebih dulu bertemu Calvin dari pada Abi Assegaf.