-Semesta Calvin-
Kasih Allah membuat Calvin bertahan tetap sehat selama beberapa waktu. Seminggu terakhir, ia stay di rumah sakit. Jantung Abi Assegaf melemah. Alhasil ia harus menjalani perawatan intensif.
Adica datang hampir setiap malam. Hanya dua jam ia menghabiskan waktu bersama ayahnya. Tiap pagi, Adeline menyempatkan diri menjenguk ke rumah sakit sebelum disibukkan dengan urusan perusahaan. Calvin, lagi-lagi hanya dia yang selalu ada.
Demi Abi Assegaf, Calvin menunda jadwal kemoterapinya. Semester baru telah lama dimulai. Semua mata kuliah sudah habis. Manajemen waktu yang baik membuat Calvin mampu membagi waktu antara skripsi, kemoterapi, dan merawat Abi Assegaf.
Sering kali Abi Assegaf terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Calvin tak pernah kehabisan cara untuk menenangkannya. Hebatnya, Abi Assegaf tetap menomorsatukan shalat wajib dan sunnah. Penyakit justru mendekatkannya dengan Allah.
"Hanya mimpi buruk, Abi." kata Calvin menenteramkan pada malam ketujuh.
Abi Assegaf bernafas berat, bersandar ke tumpukan bantal. "Kamu tidak akan meninggalkan Abi, kan?"
"Aku akan selalu di sini...bersama Abi."
"Semua orang seperti meninggalkan Abi. Mereka tak punya waktu..."
Rasa sayang membesar di hati Calvin. Teramat sayang ia pada pria yang telah lama dirawatnya. Tega sekali para pemilik asli menyia-nyiakan pria sebaik Abi Assegaf. Mereka tak menyadari, kualitas waktu sangat berharga.
Sepanjang sisa malam itu Abi Assegaf tidak tidur. Paginya, ia ingin berjalan-jalan ke taman rumah sakit. Calvin menuruti kemauannya setelah berkonsultasi dengan dokter.
Didorongnya kursi roda Abi Assegaf pelan-pelan. Koridor demi koridor mereka susuri. Samar terdengar suara tangisan, tawa, jerit kesakitan, dan riuh percakapan dari sal-sal yang mereka lewati. Di lobi, Abi Assegaf minta berhenti. Ia mendengar dentingan piano.
"Calvin, apa di sini ada piano?" tanyanya tak yakin.
"Ada, Abi. Seorang wanita berbaju putih baru saja selesai memainkannya."
"Maukah Calvin bermain piano untuk Abi?"
Apa pun untuk Abi Assegaf. Calvin bermain piano. Mendentingkan nada-nada indah.
"Apa impian Abi saat ini?" Calvin bertanya di sela permainan intro.
"Memiliki banyak waktu dengan orang-orang terkasih."
"Abi pasti bisa mewujudkannya."
Jangan sedih dan putus asa
Selalu ada jalan
Bila kau terus berdoa
Tabur harapmu sebanyak bintang
Sebanyak bintang-bintang di angkasa
Gapai bintangmu gapai impian
Jangan menyerah sebelum kau mencoba
Saatnya tiba kau kan bahagia
Melihat bintangmu bercahaya
Tunjuk satu bintang dan raihlah
Jangan kau berhenti dan menyerah
Saatnya kan tiba bintangmu bersinar
Saat impianmu jadi nyata (Kiki, Gabriel, Sivia, Angel, & Zahra Idola Cilik 1-Tunjuk Satu Bintang).
Lautan kenangan menyerbu dadanya. Calvin merasa kembali menjadi anak kecil. Saat pertama kali audisi, saat lolos ke babak 16 besar, saat ia menjadi salah satu penyanyi cilik di ajang tallent show itu, saat Mamanya memeluknya erat setelah ia tereliminasi di posisi 8 besar. Masih terekam pujian para juri, presenter, dan sahabat-sahabatnya sesama finalis. Album yang digarapnya bersama para finalis tetap ia simpan. Dan...saat ia jadi korban praktik kolusi-nepotisme di panggung itu. Saat Calvin tergabung dalam grup musik bentukan para alumni ajang pencarian bakat itu. Semuanya berakhir menyakitkan.
Meski begitu, masih tersisa sepercik bangga. Calvin mampu tampil memesona melawan keterbatasan. Ia justru finalis paling tampan dengan fans terbanyak, melebihi finalis lainnya yang borjouis.
Masih ada aura seorang penyanyi cilik darinya, bisik hati kecil Abi Assegaf. Abi Assegaf beruntung dikelilingi artis dalam kehidupannya. Caregivernya mantan penyanyi cilik, anak tunggalnya violinis dan presenter.
"Calvin, apa kau tertarik kembali ke dunia entertainment lagi?" Abi Assegaf menanyai Calvin sewaktu mereka sampai di taman.
"Iya. Tapi saya benci nepotisme dan politik uang di dunia hiburan." Calvin menjawab terus terang.
Saat di Senior High School, Calvin pernah ditawari untuk kembali ke dunia hiburan. Seorang pemilik label rekaman bersedia mengorbitkannya. Asalkan si pemilik label bisa menikah dengan Mamanya. Jelas saja Calvin tak mau. Lebih baik ia hidup terbatas tapi bebas dibandingkan hidup mewah tapi dikekang kekuasaan.
** Â Â
"Senangkah Abi kalau bisa melihat lagi?"
Pertanyaan itu tercetus spontan. Calvin meletakkan gelas kosong dan botol obat di atas nakas.
"Tentu saja. Tapi, apakah mungkin...?" Abi Assegaf balik bertanya, pesimis.
"Kemungkinan selalu ada, Abi."
Sunyi sesaat. Calvin membuka buku, lalu mulai membacakannya. Rutinitas biasa setelah membantu minum obat.
Belum lewat sepuluh menit, rutinitas itu disela kedatangan Adeline. Wanita cantik itu datang dengan banyak bawaan. Tiga parsel buah, dua karangan bunga, beberapa kotak bakery, empat kotak susu, satu pak tissue meja, dan dua kaleng biskuit. Tanpa diminta, Calvin membantu Adeline menaruh barang-barangnya di meja.
"Assalamualaikum, Assegaf." sapanya halus.
"Waalaikumsalam." sahut Abi Assegaf pelan. Ia masih sulit percaya, mantan istrinya beralih menjadi umat Muhammad.
"Aku mencium wangi bunga. Kamukah yang membawanya, Adeline?"
"Iya. Kesegaran bunga baik untuk orang sakit."
Calvin minta permisi. Ia ingin memberi privasi. Saat hampir menutup pintu, masih didengarnya perkataan Abi Assegaf.
"Kau tak punya banyak waktu..."
Orang sibuk mana pun yang mendengarnya akan tertohok. Waktu adalah uang, waktu adalah cinta. Waktu adalah kasih. Tanpa waktu, tak ada kesempatan mengasihi.
Sejenak ia berjalan-jalan di koridor. Melemaskan kaki, menyapa paramedis yang lewat. Hingga ia tersadar. Sepasang mata biru menatapinya penuh perhatian. Mata biru itu pasti milik...
"Revan!"
Diiringi seruan tertahan, Calvin berlari menghampiri pemuda tinggi berjas biru itu. Lengan Revan terentang. Pelukan adalah hadiah pertama saat pertemuan.
"Calvin...long time no see!" kata Revan bahagia. Diangkatnya tubuh Calvin, lalu diputarnya. Seperti waktu mereka masih kecil.
"Kamu tambah berat...apa kemo membuatmu berisi?" selidik Revan terengah.
Calvin tertawa. "Bilang aja gemuk. Ternyata obat-obatan itu membuat posturku tidak indah."
"Sabarlah. Kalau kamu sembuh, nanti tubuhmu bisa ideal lagi."
Revan pulang. Akhirnya...
** Â Â
-Semesta Tuan Effendi-
Kata karyawannya, hati Tuan Effendi dilapisi es. Banyak bagian yang keras, dingin, beku, dan perlu proses untuk mencairkannya. Benar, benar sekali.
Calvin mencoba berbagai cara untuk mencairkan lapisan es itu. Celakanya, Calvin sumber kekuatan sekaligus sumber kelemahan sang Papa. Tuan Effendi berat sekali untuk berkata 'tidak' padanya.
Usai menjemput sang Papa di gereja, dibawanya ayah kandungnya itu ke sebuah resto. Ia pesankan masakan Padang kaya rempah. Kuliner dari tempat Papanya dibesarkan. Pintar sekali Calvin menyamankan suasana hati Tuan Effendi.
"My Dear Calvin, makanannya enak sekali. Kamu tahu tempat-tempat makan recomended ya," puji Tuan Effendi puas.
"Iya, Pa. Apa pun akan kulakukan untuk menyenangkan Papa." Calvin tersenyum menawan.
Mereka duduk berhadapan, dibatasi meja kayu jati. Meja makan ini menjadi saksi diplomasi malaikat tampan bermata sipit.
"Pa, boleh aku minta sesuatu?"
"Katakan saja."
"Maukah Papa tinggal di Indonesia selamanya? Maukah Papa menemaniku, Abi Assegaf, dan anak-anak nelayan?"
Sudah diduganya. Tuan Effendi tidak kaget mendengar permintaan sang buah hati. Lembut, lembut tatapan mata Calvin. Bicaranya pun pelan, penuh hormat. Tak ada pemaksaan, tak ada kemanjaan, tak ada judgement. Kerak-kerak es mulai luluh di dinding hatinya.
Diperlakukan dengan lembut, makin sulit untuk menolak. Kelembutan dapat membuat perubahan. Walaupun prosesnya lebih panjang. Selama ini, Calvin begitu lembut. Bahkan saat dia menolak permintaan Tuan Effendi untuk pindah ke Australia.
Makin banyak kerak es berjatuhan. Tuan Effendi serasa mendengar bunyi keretak kerak-kerak es dari dasar hatinya sendiri. Ya, Tuhan, inikah petunjuk dariMu? Petunjuk agar dirinya kembali ke Indonesia. Lupakan Australia, suara kecil alter ego berbisik. Pelan, menggetarkan.
"Anything for you, My Dear." jawab Tuan Effendi.
Mata Calvin berbinar bahagia. Binar mata seorang anak yang tak ingin jauh dari ayahnya. Dipeluknya Tuan Effendi erat-erat.
Sungguh, dia tak ingin berpisah dengan sesiapa. Impian Calvin sama dengan Abi Assegaf: memiliki banyak waktu bersama orang terkasih. Persediaan waktu di alam fana, siapa yang tahu?
** Â Â
-Semesta Dokter Tian-
Kotak putih berlapis beludru tergeletak manis di meja kerja. Dokter Tian membukanya, menuntaskan rasa penasaran. Harum lempah kuning membelai penciuman. Lempah kuning, masakan khas Bangka dengan bumbu rempah, kunyit, dan nanas. Bahan utamanya opsional, bisa berupa ikan, daging ayam, atau daging sapi.
Siapa yang memasakkan makanan kesukaannya? Pas sekali, kotak makanan ini tiba pada jam makan siang. Diraihnya telepon.
"Suster, tahukah siapa yang mengirimkan makan siang untuk saya?" tanya Dokter Tian ingin tahu.
"Oh, itu dari Nyonya Dinda. Nyonya sampai setengah jam yang lalu."
Progres pesat. Sejak pembaiatan Adeline, fluktuasi kedekatan mereka kian meningkat. Kiriman lunchbox itu menjadi lompatan besar.
Dokter Tian menikmati makan siangnya. Wajah Nyonya Dinda melintas. Perlukah ia pulang cepat dan membelikan kalung safir untuk istrinya?
Kejutan belum berakhir. Selesai makan siang, Dokter Tian menerima dua pucuk surat. Satu surat resmi, satu surat pribadi. Pengirimnya sama.
Mula-mula dibukanya amplop coklat berlogo rumah sakit. Sebentar membaca, dia terbelalak. Tidak, ini terlalu cepat. Tidak mungkin.
Istana kesenangan runtuh perlahan. Surat pribadi ia buka. Mata Dokter Tian berembun. Senyum menghilang di balik bulir bening.
Pernah didengarnya rumor dua ribu warga dari sebuah desa terpencil beramai-ramai mendaftarkan diri sebagai pendonor mata. Mereka siap mendonorkan mata ketika nyawa dicabut Izrail. Mulia, mulia sekali. Di Indonesia, kesadaran mendonorkan mata masih rendah.
Dua ribu banding satu. Dokter Tian tetap lebih terharu melihat keseriusan satu sosok inspiratif yang ingin melakukan niat mulia.
"Calvinku..." desah Dokter Tian, matanya berkaca-kaca.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H