Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[3 Pria, 3 Cinta, 3 Luka] "The Shahada is For You and Allah"

13 Februari 2019   06:00 Diperbarui: 13 Februari 2019   06:00 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-Semesta Calvin-

Seminggu setelah kemoterapi, Calvin demam dan flu berat. Efek samping itu belum hilang juga. Calvin merasakan keletihan luar biasa. Yang paling berat ketika waktu makan tiba. Rasa mual menghebat berujung muntah membuat Calvin kehilangan selera.

Meski sakit, Calvin masih sanggup merawat Abi Assegaf. Pria yang dirawatnya itu tak tahu bila caregivernya sakit. Calvin pandai menyembunyikan kondisi tubuhnya.

Bisa saja Calvin bersembunyi dari Abi Assegaf. Tapi tidak dengan Revan. Jarak Turki-Indonesia ditambah perbedaan waktu 4 jam yang memisahkan, justru membuatnya semakin peka pada kondisi sahabatnya.

"Apa kataku, kemoterapi itu obat bodoh. Sel kanker dia hancurkan, sel sehat dia bunuh. Coba saja kau mau ikut aku ke Jerman waktu itu. Kau bisa dapat terapi yang lebih ringan. Imunoterapi atau stemp sel misalnya." cecar Revan panjang lebar.

Hening. Revan kembali bicara.

"Kamu yakin mau melakukannya sekarang? Atau tunggu kamu sembuh dulu?"

Calvin tertawa, lalu terbatuk. "Sampai Justin Bieber bisa menari Bali, kemungkinanku untuk sembuh sangat kecil."

"Jangan bilang begitu. Kamu pasti sembuh, Calvin."

Keraguannya terbuang. Virtual atau bukan, ia harus melakukannya sekarang juga. Calvin takut dengan menipisnya waktu. Satu helaan nafas, satu kesempatan yang diberikan Allah untuk bertobat.

Di layar, nampak Revan ditemani ketiga sepupu Muslimnya. Empat saksi di bumi, Allah dan para malaikat di langit. Allah Maha Mengerti. Malaikat tampan bermata sipit itu berujar lembut, sangat lembut.

"Asyhadu alaa illaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammad Arrasulullah."

Bintang-bintang berzikir. Bulan bertasbih. Awan bertahmid. Langit memuji kebesaran Allah. Mata biru Revan berkaca-kaca. Akhirnya, sahabatnya sejak kecil, berada di lintasan yang sama.

"Aku bahagia sekali, Calvin..." desahnya.

Kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Di luar kamar, terdengar ketukan tongkat. Buru-buru Calvin beranjak meninggalkan kamar bernuansa off white itu. Abi Assegaf membutuhkannya.

**   


Telah lama sendiri

Dalam langkah sepi

Tak pernah kukira

Bahwa akhirnya

Tiada dirimu di sisiku

Meski waktu datang

Dan berlalu sampai kau tiada bertahan

Semua takkan mampu mengubahku

Hanyalah kau yang ada di relungku

Hanyalah dirimu

Mampu membuatku jatuh dan mencinta

Kau buka hanya sekedar indah

Kau tak akan terganti

Tak pernah kuduga

Bahwa akhirnya

Tergugat janjimu dan janjiku

Meski waktu datang

Dan berlalu sampai kau tiada bertahan

Semua takkan mampu mengubahku

Hanyalah kau yang ada di relungku

Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta

Kau bukan hanya sekedar indah

Kau tak akan terganti

Meski waktu datang

Dan berlalu sampai kau tiada bertahan

Semua takkan mampu mengubahku

Hanyalah kau yang ada di relungku

Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta

Kau bukan hanya sekedar indah

Kau tak akan terganti

Kau tak akan terganti (Kahitna-Takkan Terganti).

Sepasang mata sipit Calvin terpaku ke layar plasma. Terkagum-kagum memandangi sosok Adica yang tengah bermain biola. Putra tunggal Abi Assegaf memang berbakat. Pasti Abi Assegaf bangga punya anak artis.

Hitam, hitam pekat yang mendominasi penglihatannya. Namun Abi Assegaf masih bisa mendengar. Dia dengar suara biola dengan jelas. Hatinya terhanyut bersama alunan lagu. Sepercik kebanggaan menetes. Diikuti perasaan ironi.

Ironis karena ia tak bisa lagi menatap. Kini ia hanya bisa mendengar. Tak ada lagi seberkas cahaya pun yang bisa ditatapnya.

"Jangan sedih, Abi. Saya akan selalu ada di sini. Saya takkan kemana-mana." hibur Calvin.

Ya, Abi Assegaf berhenti meragukan Calvin. Bukankah kasih sayang dan ketulusan Calvin tak dapat diragukan lagi? Digenggamnya tangan Calvin erat.

"Maaf telah membangunkanmu malam-malam," Abi Assegaf mendesah tertahan.

"Tidak apa-apa, Abi. Saya malah senang bisa Tahajud sama Abi dan menonton video performnya Tuan Adica."

"Abi kesepian, Calvin. Hanya kamu yang selalu ada di sini. Mengharapkan Adica jelas tak mungkin. Bagi anak muda, orang tua layaknya barang tak berguna yang sudah expired."

Wajah Calvin berubah sendu. "Tidak, Abi. Orang tua adalah harta yang berharga."

"Nyatanya tidak begitu." Abi Assegaf menundukkan wajah.

"Saat orang tua sakit dan tak berguna, anak bisa meninggalkannya dengan mudah."

"Apakah saya meninggalkan Abi? Apakah saya menjauh ketika Abi butuh bantuan?"

Pertanyaan Calvin retoris. Sukses membuat Abi Assegaf merenung. Sejurus kemudian, Calvin beranjak dari sofa. Berjalan ke walk-in-closet. Memilih dan menyiapkan setelan jas untuk Abi Assegaf.

**     

-Semesta Tuan Effendi-

Pembicaraan dengan Dokter Tian mengganggu pikirannya. Debar di hati tak juga reda. Seperti debur ombak yang kian meninggi seminggu terakhir.

Benarkah potongan jiwanya telah ditemukan? Mungkinkah hal itu terjadi? Tapi, bukankah Calvin sendiri yang mengatakan kalau orang tuanya sudah meninggal?

Tidak, sisi lain memori Tuan Effendi yang lebih kuat melancarkan bantahan. Yang benar, Calvin mengatakan ibunya sudah meninggal. Calvin sama sekali tak pernah membahas tentang ayahnya.

Keyakinan tumbuh cepat. Tuan Effendi yakin sekali, pria Middle East yang dipanggil Abi Assegaf bukanlah ayah Calvin. Bila pun Calvin bersedia merawatnya, pasti karena alasan lain.

Lantas, siapakah ayah kandungnya? Tergelitik Tuan Effendi untuk mencari petunjuk. Sulit sekali menyelidiki siapa Calvin. Semua medsosnya di-private. Tak sepotong informasi pribadi pun dibagikan.

Clever boy, pikir Tuan Effendi terkesan. Begitu cerdas Calvin sampai-sampai ia tak meninggalkan jejak digital di internet. Pastilah Calvin berprinsip untuk memisahkan dunia nyata dan dunia maya.

Telepon dari rekan bisnisnya tadi siang mengusik perasaan. Ada undangan pesta di ballroom Florissa Hotel. Pesta emas pernikahan si rekan bisnis. Diam-diam Tuan Effendi memendam iri. Iri lantaran pernikahan relasinya begitu awet. Kontras dengan pernikahannya yang bertahan kurang dari satu dekade.

"Opa...Opa, Kakak malaikat tampan bermata sipit kemana?" tanya seorang anak perempuan berkepang dua seraya menarik-narik ujung jas Tuan Effendi.

Pria yang lahir di bulan kelima itu berlutut. Menyamakan tingginya dengan si anak.

"Kakak malaikat lagi pergi, Sayang." jawabnya lembut.

"Pergi kemana? Kok Safa nggak diajak?"

"Ke rumah sakit. Kakak malaikat antar Abi Assegaf berobat."

Anak perempuan itu membulatkan bibirnya. Tangan keriput Tuan Effendi lembut mengelus-elus kepalanya. Sekejap kemudian wajah anak itu merengut.

"Yah...padahal Safa mau kasih cerita ini buat Kakak malaikat."

"Besok Safa bisa kasih ceritanya kok. Atau Safa titip sama Opa. Nanti..."

Derit pintu pagar menyela. Seorang kurir mengucapkan salam. Diserahkannya amplop coklat berlogo rumah sakit pada Tuan Effendi. Nama Dokter Tian tertera di kolom pengirim.

Dada Tuan Effendi berdebar kencang. Sudah keluarkah hasilnya? Tergesa-gesa ia masuk ke villa. Mengenyakkan diri di sofa, satu tangan memegangi dada. Berusaha meredam degup jantungnya.

Tangannya bergetar hebat, sampai-sampai amplop ikut bergetar. Sehelai kertas tebal mengilat meluncur keluar. Keringat dingin membanjiri dahi, tangan, dan punggungnya. Ia tak sabar, ingin segera tahu hasilnya.

Semenit. Tiga menit. Lima menit, mata Tuan Effendi berbinar bahagia. Bahagia yang ia nantikan selama belasan tahun. Bunga-bunga api buncah ke langit hatinya. Ya, Tuhan, ini sungguh karunia terindah. Telah lama dia menunggu kabar baik itu. Janji datang menjemput di tepi pantai.

**   

-Semesta Dokter Tian-

Nuansa ungu keemasan memenuhi ballroom. Kesejukan air conditioner berbaur dengan wangi bunga. Seorang pianis wanita memainkan Mozart Hafner in D Major no. 35. Lima puluh konfeti berbentuk hati ditaburkan. Hiasan-hiasan geometris berwarna emas tergantung di dinding. Meja-meja kayu dengan kursi berwarna senada dihiasi rangkaian bunga putih. Terdapat foto booth dengan rangkaian sederhana dan pigura berbingkai emas. Menu Barat, Indonesia, Timur Tengah, dan oriental tersaji lengkap.

Tak henti Dokter Tian melempar pandang kagum ke arah dekorasi itu. Di sampingnya, Nyonya Dinda, gagal berpura-pura dingin. Ia sama kagumnya.

"Indah," puji Nyonya Dinda.

"Iya, Dinda. Kapan kita bisa merayakan ulang tahun pernikahan seindah ini?"

Mendengar itu, Nyonya Dinda membuang muka. Disambuti tatapan masygul sang suami.

"Abi, pelan-pelan. Ke kiri satu langkah...nah, ini kursinya."

Suara bass itu menyapa lembut pendengarannya. Refleks Dokter Tian berbalik. Ia bertemu pandang dengan Calvin. Keduanya bertukar senyum, saling sapa.

"Aku senang kamu di sini, Calvinku. Jadi ada temannya." ucap Dokter Tian.

Nyonya Dinda melotot. Jengkel, wanita bergaun floral itu mencari kawan-kawan sosialitanya.

Pintu kaca berdenting terbuka. Adeline melangkah anggun, tampak sangat cantik dalam balutan maxi dress berwarna biru langit. Calvin ingin memberi tahu Abi Assegaf, tapi suara Adeline terdengar jelas.

"Adeline...itu suara Adeline kan?" bisik Abi Assegaf.

Lagu berganti. Dari musik klasik jadi pop romantik. Tanpa bisa dicegah, Abi Assegaf bangkit berdiri. Ia berjalan sambil menggerakkan tongkatnya. Kurang hati-hati, Abi Assegaf menabrak Adeline.

Tangan Adeline terulur. Lembut menuntun mantan suaminya. Menatap Calvin menenangkan. Seolah mengatakan Abi Assegaf aman bersamanya.

Mata Dokter Tian bagai dipasangi magnet. Ia terus tertarik untuk menatapi Abi Assegaf dan Adeline. Rasa sedih dan haru naik ke permukaan. Mereka yang bercerai saja bisa sedekat itu, mengapa dia dan istrinya tidak?

Lihatlah, Adeline tengah menuntun Abi Assegaf. Merangkulnya, menjaganya agar tidak terantuk kursi. Adeline mengambilkan Ruz Briyani kesukaan Abi Assegaf. Tanpa malu, dibawanya Abi Assegaf ke tengah grup sosialita. Hanya sebentar, setelahnya business woman itu mendudukkan Abi Assegaf di kursi berlapis beludru putih.

"I will love you unconditionally..." senandung penyanyi di atas panggung, merdu sekali.

Jika pria boleh menumpahkan air mata sesukanya, mau rasanya Dokter Tian menangis seketika. Ia iri, iri sekali pada Abi Assegaf yang masih dicintai Adeline. Calvin menepuk-nepuk pundaknya. Samar mereka dengar suara lembut Abi Assegaf.

"Aku tidak sesehat dulu, Adeline."

"Aku dan Adica selalu menunggu kau kembali, Assegaf. Haruskah cinta bersyarat? Jika aku mencintaimu saat kau sehat, aku pun mencintaimu saat sakit."

Nampak Abi Assegaf meraba wajah Adeline. Buliran bening jatuh dari mata sipit wanita itu.

Drama belum berakhir. Ketiga kalinya, pintu ballroom membuka. Tuan Effendi meluncur ke dekat Calvin, seolah kakinya dipasangi roda. Pria kesepian itu menangis.

"Pak Effendi...ada apa?" tanya Calvin khawatir.

Merasa ini saatnya, Dokter Tian mundur menjauh. Membiarkan dua pasangan di dekatnya menyelesaikan urusan mereka.

Pada detik yang sama, Calvin dipeluk erat Tuan Effendi. Adeline dan Abi Assegaf berpelukan erat. Calvin-Tuan Effendi dan Adeline-Abi Assegaf berpelukan, membiaskan cinta tanpa kata.

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun