Hidup berpindah-pindah nampaknya telah menjadi kebiasaan. Sama normalnya seperti berganti pakaian. Hanya satu alasannya menjadi nomaden: memeluk cinta. Cinta itu mewujud berupa kehadiran seorang anak.
Keinginannya mencari sang permata hati lesap. Arah hatinya berubah seketika. Kini dia hanya ingin dekat dengan Calvin. Perkenalan dengan Calvin membuatnya melupakan tujuan utama.
Seiring berjalannya waktu, Tuan Effendi betah tinggal di villa. Ia mempekerjakan wanita pesisir untuk mengurus villanya. Pengusaha kesepian itu tak canggung berbaur dengan komunitas nelayan. Pintu villa selalu terbuka untuk anak-anak nelayan yang ingin bermain dan belajar.
Koleksi buku milik Tuan Effendi sangat banyak. Ia berinisiatif membuat taman bacaan kecil di samping villa. Setelah idenya terealisir, villanya tak pernah sepi. Anak-anak nelayan terbantu dengan hadirnya taman bacaan itu.
Siang merangkul sore. Tepat pukul tiga, Calvin datang ke villa. Dia telah berjanji untuk menemani Tuan Effendi menulis cerita bersama anak-anak. Satu lagi inovasi literasi gebrakan Tuan Effendi. Gerakannya ia namakan Sore Menulis Cerita. Anak-anak nelayan di taman bacaan tak hanya membaca banyak buku, tetapi juga melatih imajinasi mereka dengan menulis cerita.
Senyum merekah di wajah Tuan Effendi saat Calvin datang. Anak-anak pun tak kalah excited. Mereka memanggil Calvin Kakak Malaikat. Dengan sabar, Calvin dan Tuan Effendi mengajari anak-anak nelayan itu menulis.
"Saya senang kamu mau membantu mereka, My Dear Calvin." ungkap Tuan Effendi tulus.
"Iya. Saya suka anak-anak. Rasanya seperti punya adik." sahut Calvin bahagia.
Meski bahagia, wajah piasnya tak dapat tersamarkan. Kecemasan bangkit lagi di hati Tuan Effendi.
"Calvin, kamu tidak apa-apa?"
"Mengapa semua orang selalu bertanya begitu? Seakan saya terlalu lemah."