"Ayah? Bukankah Calvin tak punya ayah?"
Celaka, kebohongannya diketahui dengan cepat. Rupanya sang dokter lebih lama mengenal Calvin. Brankar didorong ke ruang rawat.
"Dokter Tian...Pak Effendi..." Calvin berbisik lemah.
"Kenapa, Sayang?" balas Dokter Tian dan Tuan Effendi bersamaan.
"Tadi saya mimisan, batuk darah, dan sakit punggung. Saya takut...separah itukah kanker saya?"
"Jangan berkata begitu, Calvinku. Kamu akan baik-baik saja."
Balon kecemasan menggelembung. Ya, Allah, Dokter Tian tak bisa melihat Calvin sesakit ini. Ia harus melakukan sesuatu. Sebagai dokter, dia tak ingin gagal lagi.
Pintu ruangan diketuk. Tuan Effendi membukanya. Ia langsung berhadapan dengan Adica. Samar Dokter Tian mendengar percakapan mereka. Sepertinya dia kenal sosok berjas grey itu. Wajahnya keluar-masuk layar kaca. Tak lama, Adica masuk ke dalam. Dipegangnya tangan Calvin.
"Ternyata kau sakit kanker?" tuntut Adica dalam bisikan.
"Maaf, Adica...tolong jangan beri tahu Abi."
Adica menghela nafas. "Aku takkan menikah. Aku mau selibat demi merawat Abi."