-Semesta Calvin-
Altar Buddha itu hancur. Human error. Calvin sendiri yang menabraknya tadi pagi. Saat itu dia tergesa-gesa, takut terlambat ke rumah Abi Assegaf.
Abi Assegaf tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Bukan, bukan karena lumpuh. Tetapi karena kegelapan.
Kegelapan yang tetiba menyelimuti penglihatannya. Apa yang ia takutkan terjadi. Abi Assegaf kehilangan penglihatan. Sungguh, pedih tak terkira saat penglihatan kita dihilangkan. Tak setitik pun cahaya yang tertangkap mata. Sesuatu akan terasa berharga ketika kita telah kehilangannya. Kemana mata itu, kemana? Kemanakah titik-titik cahaya itu, kemana? Benarkah kornea, retina, dan irisnya sempurna lumpuh?
"Calvin..." lirihnya menyebut nama Calvin.
Bagaimana malaikat tampan itu tidak bersedih melihat kondisi Tuan yang dikasihinya? Ia tak terlalu sedih saat altarnya hancur. Tapi kali ini, hatinya sempurna disergap kesedihan.
"Gelap. Kenapa semuanya gelap, Calvin? Abi tidak bisa melihat apa-apa."
Memilukan, mengapa mata Abi Assegaf harus diambil secepat itu? Mengapa banyak hal direbut darinya? Istri, anak, cinta, dan kini matanya.
Terlintas ucapan mendiang Mamanya. Bila seseorang sedih, peluklah dia. Sebuah pelukan dapat membasuh kesedihan.
Dengan penuh kasih, Calvin memeluk Abi Assegaf. Ia peluk Abi Assegaf seperti memeluk ayahnya sendiri. Hati malaikat menguatkan yang rapuh.
Lihatlah sifat seseorang yang sebenarnya saat ia memperlakukan orang sakit. Calvin, bintang basket itu, mahasiswa terpintar idola para gadis itu, memeluk dan membaktikan hidupnya untuk ayah yang tak berdaya. Figur berbakat dan populer saja mau memeluk dan memperlakukan orang sakit dengan penuh kasih sayang.
"Jangan tinggalkan Abi..." pinta Abi Assegaf.
"Tidak. Saya akan jadi mata untuk Abi."
Janji, serangkaian frasa yang harus ditepati. Ucapan pemuda berhati malaikat itu konsisten. Jangan samakan Calvin Wan dengan para politisi penebar janji palsu. Pengalaman hidup mengajarkannya untuk menepati janji.
"Tinggallah di sini, Calvin. Abi butuh kamu." Abi Assegaf memohon.
"Insya Allah."
Detik berikutnya, Calvin terkejut dengan ucapannya sendiri. Mengapa dua kata itu mudah sekali terlontar? Seakan telah akrab, telah sering terucap.
"Semoga Allah selalu memberikan berkahNya untuk Abi."
Mengapa, mengapa ia mudah sekali mendoakan Abi Assegaf secara Islam? Tak tertera kata 'Muslim' di kartu identitasnya. Namun, mengapa Calvin sangat nyaman dengan ekspresi iman ajaran Prophet Muhammad?
Embun mencairkan kebekuan di hati Calvin. Bongkahan es di dasar hatinya patah. Tidak, seseorang dari kalangan itu butuh dirinya. Jika ekspresi iman mereka berbeda, bagaimana mungkin sosok pemuas kerinduan ayah yang dikasihinya akan merasa nyaman? Kebutaan Abi Assegaf membuka mata hati Calvin.
** Â Â
Ku melintas pada satu masa
Ketika ku menemukan cinta
Saat itu kehadiranmu
Memberi arti bagi hidupku
Meskipun bila saat ini
Kita sudah tak bersama lagi
Ada satu yang ku rindu
Kehangatan cinta dalam pelukanmu
Biarkan aku melukiskan bayangmu
Karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar tiba
Kau selalu ada
Walau tersimpan
Di relung hati terdalam
Biarkan aku melukiskan bayanganmu
Karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar tiba
Kau selalu ada
Walau tersimpan
Di relung hati terdalam
Karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar tiba
Kau selalu ada
Walau tersimpan
Selalu kusimpan
Di relung hati terdalam (Adera-Melukis Bayangmu).
Lagu itu teramat sedih. Sambil memainkan piano dan menyanyikannya, Calvin teringat kondisi Abi Assegaf. Sejenak lupa dengan kesehatannya sendiri.
Pria berpakaian biru di sisinya itu tertunduk dalam. Penglihatannya telah sirna, seperti satu kata di lirik lagu. Kini yang ditemuinya hanya kegelapan. Kegelapan, seperti lorong hitam tanpa akhir.
Perasaan tak berguna menampar jiwa. Rasanya Abi Assegaf menjadi orang paling tak berguna di dunia. Ia bukan lagi ayah, suami, dan pemimpin perusahaan yang sempurna. Kebutaan merampas semua itu dari jangkauan.
"Abi tidak usah khawatir. Mata saya mata Abi juga." ujar Calvin tulus.
Hati Abi Assegaf mendingin. Anak ini, lebih dari sekedar caregiver. Ia malaikat hidupnya. Mutiara hati, perekat jiwanya. Calvin mendapat tempat yang sama dengan Adica di relung hati Abi Assegaf.
"Saya pulang dulu ya, Abi. Mau ambil barang-barang. Ayo, saya bantu ke kamar."
Pelan dan lembut, Calvin membimbing tangan Abi Assegaf. Menaiki tangga satu per satu ke master suite. Membantu Abi Assegaf berbaring di ranjangnya.
** Â Â
-Semesta Tuan Effendi-
Berhari-hari Tuan Effendi menanti di lantai 27. Sempat terpikir olehnya untuk pindah apartemen, dari penthouse di lantai 33 ke lantai 27 agar lebih dekat. Nyatanya, unit di lantai 27 terisi penuh.
Tak sebersit pun niatnya keluar apartemen. Jika tiba waktu makan, ia cukup menggunakan jasa pesan antar. Begitu pun saat membeli sesuatu. Waktunya full di apartemen ini, hanya untuk menunggu Calvin.
Calvin, sepentingkah itukah dirinya? Sampai-sampai pengusaha sukses seperti Tuan Effendi menyisihkan banyak waktu demi bertemu dengannya. Akan tetapi, Calvin tak sadar sedang ditunggu.
Petang ini, penantian Tuan Effendi tak sia-sia. Dia lelah berjalan dari satu pintu ke pintu lainnya. Alhasil ia menjatuhkan diri di samping pintu bernomor 99. Kepalanya tersandar ke dinding. Semenit. Tiga menit. Lima menit, Tuan Effendi jatuh tertidur.
Calvin tiba beberapa menit berselang. Ia kaget mendapati pria yang dua kali ditemuinya terlelap di samping pintu apartemennya. Pelan ia bangunkan Tuan Effendi.
"Astaga...Calvin, akhirnya saya ketemu kamu juga."
Mata Tuan Effendi berbinar bahagia. Senyuman terbit di sudut wajah Calvin. Batinnya menyimpan tanda tanya.
"Oh ya, dari pertama bertemu, saya belum menyebutkan nama. Saya Effendi."
"Silakan masuk, Pak Effendi."
Kunci dibuka dengan kartu plastik. Pintu mengayun membuka, memperlihatkan kilasan ruang tamu mungil. Apartemen Calvin cukup rapi. Hanya ada sedikit perabotan di sana. Sofa berwarna coklat, meja kaca berkaki ramping, televisi LED, kulkas, dan dispenser. Sebuah peti pendek terbuat dari kayu meranti berdiri di sudut. Huruf "R" terukir di tutupnya. Dinding begitu polos, hanya tertutupi wallpaper. Tak nampak foto keluarga.
"Kamu tinggal sendirian, Nak?" Tuan Effendi bertanya memecah kekakuan.
"Iya. Tapi mulai malam ini, saya tidak akan tinggal di sini lagi."
"Kenapa? Oh, pasti kamu mau kembali ke rumah orang tuamu, kan?"
"Ibu saya sudah meninggal." Calvin menunjuk peti pendek itu. Isinya abu jenazah.
"Maaf..."
"Tidak apa-apa. Saya buatkan teh."
Calvin berdiri, lalu berjalan sedikit limbung ke pantry. Akhir-akhir ini keseimbangannya kacau. Tuan Effendi tahu itu. Firasatnya tak enak. Benar saja. Selang lima menit...
Prang!
Sontak Tuan Effendi berlari ke pantry. Teko susu pecah. Bubuk teh bertebaran.
"Calvin!" serunya panik.
Pemuda yang lahir di bulan terdingin itu kesakitan. Ia membungkuk, menahan rasa sakit. Hidungnya berdarah-darah.
"Calvin...My Dear, are you ok?"
Sungguh, panggilan itu terucap begitu saja. Spontan, tanpa rrencana. Seperti ayah yang memanggil anak kesayangannya.
Calvin terbatuk-batuk. Darah yang keluar lebih banyak dari sebelumnya. Atlet basket peraih MVP itu jatuh pingsan tepat ketika Tuan Effendi memeluknya.
** Â Â
-Semesta Dokter Tian-
Durasi praktiknya telah berakhir. Lorong-lorong rumah sakit teramat sunyi saat ia melewatinya. Senja merambat malam. Ia telah berjanji pada Nyonya Dinda untuk pulang tepat waktu. Ada acara makan malam keluarga. Seperti biasa, Nyonya Dinda ingin menampilkan kepura-puraan di depan keluarga besar.
Janji tinggal janji. Di koridor kedua, pandangannya tertumbuk ke arah brankar yang didorong dua perawat. Ekor matanya mampu mengenali sosok pucat di atas tempat tidur beroda. Calvin terbaring lemah dengan darah mengalir dari hidungnya.
Niat menyenangkan Nyonya Dinda batal. Dokter Tian berlari mengambil alih brankar. Nyaris saja ia bertabrakan dengan pria berjas hitam yang mengikuti laju brankar sejak tadi.
"Anda siapa?" selidik Dokter Tian.
Lidah Tuan Effendi terkunci. Dirinya bukan siapa-siapa. Dokter ini pasti curiga. Jadi...
"Saya ayahnya."
"Ayah? Bukankah Calvin tak punya ayah?"
Celaka, kebohongannya diketahui dengan cepat. Rupanya sang dokter lebih lama mengenal Calvin. Brankar didorong ke ruang rawat.
"Dokter Tian...Pak Effendi..." Calvin berbisik lemah.
"Kenapa, Sayang?" balas Dokter Tian dan Tuan Effendi bersamaan.
"Tadi saya mimisan, batuk darah, dan sakit punggung. Saya takut...separah itukah kanker saya?"
"Jangan berkata begitu, Calvinku. Kamu akan baik-baik saja."
Balon kecemasan menggelembung. Ya, Allah, Dokter Tian tak bisa melihat Calvin sesakit ini. Ia harus melakukan sesuatu. Sebagai dokter, dia tak ingin gagal lagi.
Pintu ruangan diketuk. Tuan Effendi membukanya. Ia langsung berhadapan dengan Adica. Samar Dokter Tian mendengar percakapan mereka. Sepertinya dia kenal sosok berjas grey itu. Wajahnya keluar-masuk layar kaca. Tak lama, Adica masuk ke dalam. Dipegangnya tangan Calvin.
"Ternyata kau sakit kanker?" tuntut Adica dalam bisikan.
"Maaf, Adica...tolong jangan beri tahu Abi."
Adica menghela nafas. "Aku takkan menikah. Aku mau selibat demi merawat Abi."
"Saya bisa merawat Abi Assegaf. Kamu tak perlu..."
"Who do you think you are?"
Mendengar pasiennya dibentak, Dokter Tian tidak terima. Tak sepantasnya orang sakit dikasari. Kelembutan, itu yang mereka butuhkan.
** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H