"Calvin...My Dear, are you ok?"
Sungguh, panggilan itu terucap begitu saja. Spontan, tanpa rrencana. Seperti ayah yang memanggil anak kesayangannya.
Calvin terbatuk-batuk. Darah yang keluar lebih banyak dari sebelumnya. Atlet basket peraih MVP itu jatuh pingsan tepat ketika Tuan Effendi memeluknya.
** Â Â
-Semesta Dokter Tian-
Durasi praktiknya telah berakhir. Lorong-lorong rumah sakit teramat sunyi saat ia melewatinya. Senja merambat malam. Ia telah berjanji pada Nyonya Dinda untuk pulang tepat waktu. Ada acara makan malam keluarga. Seperti biasa, Nyonya Dinda ingin menampilkan kepura-puraan di depan keluarga besar.
Janji tinggal janji. Di koridor kedua, pandangannya tertumbuk ke arah brankar yang didorong dua perawat. Ekor matanya mampu mengenali sosok pucat di atas tempat tidur beroda. Calvin terbaring lemah dengan darah mengalir dari hidungnya.
Niat menyenangkan Nyonya Dinda batal. Dokter Tian berlari mengambil alih brankar. Nyaris saja ia bertabrakan dengan pria berjas hitam yang mengikuti laju brankar sejak tadi.
"Anda siapa?" selidik Dokter Tian.
Lidah Tuan Effendi terkunci. Dirinya bukan siapa-siapa. Dokter ini pasti curiga. Jadi...
"Saya ayahnya."