Tak masalah dengan waktu. Toh dirinya tidak terikat jadwal pekerjaan selama di Indonesia. Waktunya bebas. Ia bisa menunggu Calvin kapan saja.
Menunggu Calvin? Pikirannya mengukir tanda tanya. Mengapa dia ingin sekali menunggu anak itu? Mengapa keinginannya teramat besar untuk bertemu Calvin lagi?
Entah, Tuan Effendi pun tak mengerti dengan perasaannya sendiri. Satu hal yang pasti: ia ingin bertemu Calvin. Itu saja. Anak muda itu membuatnya penasaran.
Figur seperti Calvin sangat langka. Milenial yang baik, care, penyabar, dan sopan. Calvin bukan tipikal gadget autism. Beruntung sekali pria Middle East yang selalu bersamanya.
Ah, andaikan Tuan Effendi jadi pria Middle East itu. Hidupnya pasti bahagia. Begitu fokus Tuan Effendi menunggu Calvin hingga ia lupa mencari anaknya.
Sore memeluk petang. Putus asa, Tuan Effendi berjalan menuju lift. Ia berniat kembali ke penthousenya. Menutup hari dengan berdoa Novena dan meneguk cappucino. Cukup untuk hari ini.
Ting
Diiringi bunyi denting pelan, pintu lift membuka. Tuan Effendi bergegas masuk. Tak menyadari pintu lift di sebelahnya ikut terbuka.
Dari lift sebelah, keluarlah Calvin. Ia terburu-buru berjalan ke apartemennya. Calvin tiba di lantai 27 tepat ketika lift yang dinaiki Tuan Effendi berguncang naik. Takdir belum mempertemukan mereka. Jika semenit saja Tuan Effendi menunda kepergiannya, mungkin tangan takdir akan membuka.
** Â Â Â
-Semesta Dokter Tian-