Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[3 Pria, 3 Cinta, 3 Luka] Tempat untuk Pulang

6 Februari 2019   06:00 Diperbarui: 6 Februari 2019   06:27 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-Semesta Calvin-

Ragu-ragu dinaikinya tangga marmer. Iris mata Calvin menangkap tiga pelayan berdiri kaku. Satu di antara mereka memegang sapu. Yang lainnya menenteng gulungan karpet. Pelayan terakhir melipat seprai.

"Kenapa kalian di sini?" Calvin bertanya-tanya.

Sebagai jawaban, jari telunjuk salah satu pelayan mengarah ke pintu. Pintu berpernis mengilap itu terbuka. Kilasan ruang tamu terlihat jelas. Nampak Abi Assegaf tengah berpelukan dengan seorang pemuda. Pemuda itu berkulit putih dan bermata sipit. Jasnya rapi, persis seperti Abi Assegaf. Dalam hati, Calvin menyimpan tanya.

"Dia Adica Wirawan Assegaf. Anaknya Tuan."

Anak? Kelopak matanya mengerjap. Adica sama sekali tidak mirip dengan Abi Assegaf.

"Pasti kamu nggak percaya. Beneran kok, dia anak Tuan Assegaf. Mukanya lebih mirip Nyonya Adeline."

Calvin mengangguk paham. Keraguannya lesap. Ia berbalik, meneruskan langkah. Tak peduli keluhan tiga pelayan. Durasi kerjanya dimulai.

Abi Assegaf melepas pelukannya. Menyambut Calvin hangat. Adica menatap curiga.

"Siapa kau?" Nada suara Adica sedingin Laut Baltik.

"Saya Calvin, caregiver Tuan Assegaf."

Spontan Adica melipat dahi. "Sejak kapan Abiku butuh caregiver?"

"Abi sudah tua, Sayang. Calvin baik sekali mau menemani dan menjaga Abi."

Senyum angkuh bermain di bibir 'putra mahkota'. Dia bertolak pinggang, memandang Calvin penuh ketidaksukaan. Ada sorot kecewa di mata itu. Adica kecewa, sungguh kecewa pada keputusan Abinya mempekerjakan caregiver.

"Kaupikir aku tak bisa menjaga ayahku sendiri?"

"Kau hanya pulang ke sini saat kau jatuh, Adica anakku."

**     


Jangan takut sendiri

Kamu takkan lagi sepi

Jangan takut kehilangan

Aku beri kekuatan

Belum saatnya menyerah

Tetap di sampingku

Bila saat engkau jatuh

Dan mulai merasa rapuh

Pundakku siap tersandar

Tanganku selalu menggenggam

Belum saatnya menyerah

Tetap di sampingku

Bila saat engkau jatuh

Dan mulai merasa rapuh

Pundakku siap tersandar

Tanganku selalu menggenggam

Ini aku

Bila saat engkau jatuh dan mulai merasa rapuh

Pundakku siap tersandar

Tanganku selalu menggenggam

Bahkan saat kau menyakiti

Dan kauputuskan untuk pergi

Aku kan tetap menanti

Meski kau takkan kembali

Ini aku (Devano Danendra-Ini Aku).

Calvin menyingkir ke ruang keluarga. Ia bermain piano. Samar masih didengarnya pembicaraan ayah dan anak dari balik partisi.

"Dia lancang sekali, Abi. Berani main piano di sini. Memangnya dia pikir dia siapa?"

Abi Assegaf tertawa kecil. "Abi senang piano itu dimainkan, Sayang."

Adica menghempas nafas kesal. Kepulangannya di pagi yang dingin membawa segumpal kecewa. Ia tak habis pikir mengapa Abi Assegaf menyewa caregiver.

Terdengar denting gelas beradu dengan meja. Disusul bunyi adukan sendok. Setelah menyesap teh Earl Greynya pelan-pelan, si anak semata wayang mengungkapkan sesuatu.

"Aku keluar dari radio, Abi. Terlalu banyak intrik. Naskah sandiwara radio dan ketulusanku disalahartikan."

Jadi, ini alasan Adica pulang. Mencari kenyamanan di tengah intrik kantor. Abi Assegaf mengusap-usap lengan putranya.

"Abi tahu rasanya, Sayang. Semoga kamu mengambil keputusanmu dengan kepala dingin."

"Apakah ini tandanya jodoh?"

"Apa maksudmu?"

"Perkataan Abi sama seperti Ummi."

Detak di dada Abi Assegaf bertambah cepat. Lupakah Adica bila ayahnya tak boleh terlalu diforsir kerja jantungnya? Wajah Abi Assegaf tertunduk. Tidak, semuanya telah berlalu.

Adica tersenyum penuh kemenangan, menghabiskan tehnya, lalu bangkit. "Aku mau cek caregiver itu."

Calvin bersiap diri ketika Adica mendatanginya. Senyuman terhapus, digantikan ekspresi dingin. Suasana horor mencengkeram ruang keluarga.

"Kalau kau merawat Abiku hanya karena uang, lebih baik kau angkat kaki dari sini!" gertaknya.

"Aku tulus merawat Abi Assegaf."

"Bagus. Kau tahu kan? Abi hanya mau dirawat seorang Muslim."

Calvin mengangguk. Tubuhnya sedikit gemetar di bawah tatapan tegas sang tuan muda. Sejurus kemudian, mantan broadcaster itu mengeluarkan Alquran kecil dari saku jasnya. Dibuka-bukanya secara acak. Berhenti pada juz 27 Surah Ar-Rahman. Lalu ia menyodorkan Alquran itu ke tangan Calvin.

**    

-Semesta Tuan Effendi-

Seraut wajah itu tak pernah dilupakannya. Wajah oriental putih, mulus, nan bening. Tuan Effendi mengingatnya bukan karena ketimpangan orientasi seksual. Ia mendamba sosok itu sebagai anaknya.

Andai saja pemuda tampan itu anaknya. Dari pembawaannya, tahulah Tuan Effendi betapa lembut dan sabar pemuda itu. Beruntung sekali pria Middle East yang ia jaga.

Diam-diam Tuan Effendi mengharapkan pertemuan lagi. Haruskah ia mencari tahu tentang pemuda oriental dan pria Middle East? Bagaimana caranya?

Seharian ini ia berkeliling kota. Menemui teman-teman lama, mengunjungi kantor lama, dan mengobrol dengan mantan jurnalis yang kini punya media sendiri. Bukannya lupa, bukannya tak ingin lagi mencari keberadaan anaknya. Tuan Effendi sedang menunggu progres yang dijanjikan tangan kanan relasi bisnisnya.

Senja mencium malam. Selimut hitam membungkus langit. Malam gelap pekat tanpa bintang. Tuan Effendi enggan kembali ke hotel.

Baginya, hotel bukan tempat untuk pulang. Dia rindu rumah. Rindu keluarga, rindu orang-orang tercinta. Buat apa segala kemewahan bila hanya dinikmati sendiri?

Limousine hitam menyusuri bilangan kota. Keluar-masuk tol. Menjelajah tanpa arah.

Tanpa arah, seperti hati Tuan Effendi. Hatinya seperti gelembung yang melayang-layang di ruang hampa. Kehampaan mencengkeram batin. Hampa melahirkan sepi. Sepi melahirkan sedih.

Smartphonenya bergetar lembut. Chat Whatsapp dari rekan bisnis. Dengan jantung berdentam-dentam, Tuan Effendi membukanya.

"Aku sudah tahu alamat tempat tinggal anakmu. Aku share ya."

Detik berikutnya, muncul sebuah lokasi yang dibagikan. Lengkap dengan peta dan petunjuk rute. Hati Tuan Effendi melonjak gembira. Dia familiar dengan alamat ini.

Mobilnya putar balik. Meluncur ke selatan. Apartemen, mungkin saja itu tempat untuk pulang. Beruntungnya orang yang memiliki tempat untuk pulang.

**     

-Semesta Dokter Tian-

Dokter Tian tidak nyaman di rumahnya sendiri. Banyak orang memaklumi keputusannya menjadi workaholic. Onkolog itu bekerja tak kenal waktu. Pagi, siang, malam terlewati di rumah sakit. Jarang sekali Dokter Tian pulang ke rumah, kecuali ada alasan urgen.

Seperti malam ini. Ia pulang ke rumah untuk mengambil berkas yang tertinggal. Firasatnya tak enak menjelang seratus meter di dekat mansion megahnya. Feeling seorang dokter sering kali benar.

Seorang satpam bertubuh kekar membuka gerbang. Wajahnya berangsur lega begitu melihat sedan yang dikendarai Dokter Tian.

"Syukurlah Dokter Tian pulang..." ucapnya pelan.

"Ada apa?"

"Nyonya..."

"Nyonya kenapa?"

Satpam itu berdeham canggung. "Ehm...sebaiknya Dokter lihat sendiri."

Kunci mobil berpindah tangan. Terburu-buru Dokter Tian memasuki ruang tamu. Selangkah demi selangkah ia masuki ruangan oval berlangit-langit itu. Sedetik. Tiga detik. Lima detik...

"Masya Allah."

Tulang-tulangnya bagai terlepas. Di sofa, terlihat Nyonya Dinda berciuman dengan seorang pria berkulit hitam.

"Dinda, apa yang kaulakukan?!"

Gelegar suara Dokter Tian memutus kemesraan terlarang. Refleks Dinda dan pria kulit hitam itu melepaskan diri.

"Aku bisa terima kalau kau tidak mencintaiku lagi! Tapi jangan dekat-dekat pria ini! Aku sudah tahu siapa dirinya!"

Dokter Tian marah, sangat marah. Bukan karena istrinya bermain di belakang dengan lain orang. Tetapi karena Nyonya Dinda bermesraan dengan scammer.

"Dwayne Williams Burleigh!" seru Dokter Tian dengan aksen British yang kental.

"Mengaku duda British, padahal hanya scammer Nigeria bermental iblis! Berpura-pura agamis padahal sadis! Pergi kau dari sini! Jangan ganggu istriku lagi!"

Satu, dua, tiga pukulan Dokter Tian menghantam perut scammer itu. Sekejap saja si penipu terusir. Nyonya Dinda terisak. Air mata kemarahan mengalir ke pipinya.

"Kau jahat, Tian! Kaurenggut nyawa anakku! Kau tak punya waktu untukku! Lalu kini, kauusir Dwayne dari hidupku!"

Kemarahan Dokter Tian tersapu bersih. Bukan, sungguh bukan karena istrinya mendua. Melainkan karena scammer itu ia marah. Sayangnya, Nyonya Dinda tak mau mengerti. Ia terlalu naif untuk mengakui keculasan Dwayne yang telah dibongkar habis Dokter Tian.

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun