Dokter Tian tidak nyaman di rumahnya sendiri. Banyak orang memaklumi keputusannya menjadi workaholic. Onkolog itu bekerja tak kenal waktu. Pagi, siang, malam terlewati di rumah sakit. Jarang sekali Dokter Tian pulang ke rumah, kecuali ada alasan urgen.
Seperti malam ini. Ia pulang ke rumah untuk mengambil berkas yang tertinggal. Firasatnya tak enak menjelang seratus meter di dekat mansion megahnya. Feeling seorang dokter sering kali benar.
Seorang satpam bertubuh kekar membuka gerbang. Wajahnya berangsur lega begitu melihat sedan yang dikendarai Dokter Tian.
"Syukurlah Dokter Tian pulang..." ucapnya pelan.
"Ada apa?"
"Nyonya..."
"Nyonya kenapa?"
Satpam itu berdeham canggung. "Ehm...sebaiknya Dokter lihat sendiri."
Kunci mobil berpindah tangan. Terburu-buru Dokter Tian memasuki ruang tamu. Selangkah demi selangkah ia masuki ruangan oval berlangit-langit itu. Sedetik. Tiga detik. Lima detik...
"Masya Allah."
Tulang-tulangnya bagai terlepas. Di sofa, terlihat Nyonya Dinda berciuman dengan seorang pria berkulit hitam.