"Kita saling mengkhawatirkan. Saling menguatkan, itu lebih baik."
Sesosok anak nelayan berkaki telanjang lewat di depan mereka. Seluruh tubuhnya basah. Di tangannya, terkumpul kerang-kerang kecil. Mungkin saja ia disuruh orang tuanya mencari kerang. Riskan untuk melaut di tengah cuaca buruk begini.
Pelan-pelan Abi Assegaf turun dari puncak karang. Ia hampiri anak nelayan itu. Si anak terlihat sedih dan kdinginan. Dengan lembut, Abi Assegaf mendekap si anak nelayan seraya mengusap-usap kepalanya. Diberinya stoples kue untuk anak nelayan itu.
Dari tempatnya berdiri, Adica bisa melihat sepasang mata coklat nan polos berbinar bahagia. Abi Assegaf mencium anak itu, lalu kembali naik ke puncak karang. Ia balas melambai ketika si anak penerima kue melambai pergi.
Tergetar hati Adica melihat apa yang dilakukan ayahnya. Abi Assegaf dicintai keluarga-keluarga di pesisir pantai itu. Nelayan, para istri, dan anak-anak, semua mencintainya.
"Abi selalu ada untuk mereka...seperti Abi selalu ada untukku, Ummi, dan Syifa."
"Tapi Abi tak tahu sampai kapan. Kita tak pernah tahu, berapa banyak lagi sisa pasir waktu di dunia yang termiliki."
Andai malaikat maut bisa diajak bernegosiasi. Andai megaserver Lauhul Mahfuzh milik Allah bisa di-hack dan diotak-atik. Tentunya setiap yang bernyawa akan melakukan apa pun untuk memperpanjang usia.
Sesaat kemudian, ayah dan anak itu turun dari puncak karang. Hujan berhenti bersenandung. Menyapukan hawa sejuk dan segar. Adica dan Abi Assegaf berjalan-jalan di sepanjang pasir putih. Sejauh mungkin dari jangkauan buih ombak.
"Aku lelah di Refrain, Abi." Adica kembali bicara, merapatkan jas Ermeneguildonya.
"Karena kakekmu ya?" tebak Abi Assegaf, tersenyum sendu.