Secepat apa pun gerakan tangannya mengolah bahan makanan, ternyata ia ketahuan juga. Kali ini bukan karena ulah para pelayan, melainkan...
"Sekarang saya tahu siapa yang menyiapkan lunchbox untuk Syifa setiap hari."
Si perawat misterius terperangah. Abi Assegaf telah berdiri di sampingnya. Senyum tipis merekah di wajah pucat itu. Cepat-cepat diletakkannya pisau dan potongan wortel.
"Tuan Assegaf, sebaiknya Anda istirahat..." kata si perawat tampan dengan nada gugup.
"Syifa harus berterima kasih padamu, Gabriel."
Perawat berhati malaikat itu menunduk, memain-mainkan apronnya. Ia resah. Tak ingin Syifa tahu.
"Anak-anakku paham ilmu berterima kasih."
Makin resah Gabriel karenanya. Rasa tidak nyaman membanjiri hati. Haruskah setiap kasih dan kebaikan diketahui penerimanya?
"Tuan, saya mohon jangan beri tahu Nona Syifa." Gabriel memohon, lirih.
Abi Assegaf menggeleng tegas. Berbalik, lalu berjalan ke pintu. Gabriel kembali menghadapi segunung sayuran yang belum dipotongnya. Hatinya melagukan doa, berharap Syifa tak perlu tahu.
Beberapa menit kemudian, apa yang ditakutkannya terjadi. Gadis cantik itu turun ke dapur. Matanya berbinar bahagia, wajahnya bercahaya. Terkagum-kagum dia melihat apa yang dilakukan perawat misterius itu.