** Â Â
Di pemakaman, Adica tak banyak bicara. Dia dan Calvin ikut membantu membawakan peti jenazah. Sekali mereka saling tatap. Harum nafas hujan membelai udara. Mengantar kesejukan bagi para pelayat.
Calvin menangkap kegalauan di mata Adica. Saat keduanya berdiri bersisian di samping makam yang masih baru, Calvin bertanya lembut.
"Apa yang kamu sedihkan, Adica?"
"Kematian..." jawab violinis dan penyiar itu lirih. Tidak keras, tidak galak seperti tadi.
"Setiap orang akan mati. Tapi kita tak tahu bagaimana akhir kisah kita di dunia."
"Kenapa kematian harus jadi misteri?"
"Bila kita tahu kapan waktu kematian, kita akan terus meminta pada Tuhan untuk menundanya. Tahu waktu kematian justru membuat kita kehilangan arti hidup. Kita hanya akan fokus untuk meminta umur yang panjang. Tujuan hidup di dunia bukan umur yang panjang, tetapi berbuat sebanyak mungkin kebaikan."
Lembut, lembut sekali Calvin mencoba memberi pemahaman pada adik kandungnya. Jangan panggil dia Calvin Wan bila tak mampu bersikap lembut.
"Aku takut Abi meninggal. Atau Ummi, atau Syifa, atau kamu yang pergi."
Rupanya sang violinis pun takut jika sang pianis pergi ke alam Barzah. Calvin menepuk-nepuk lembut punggungnya.