Perawat itu bertubuh paling tinggi dibandingkan teman-temannya. Ketika ia datang ke rumah mewah tepi pantai, perawat pria itu memakai pakaian putih seputih kulitnya. Semua orang sepakat menilai parasnya tampan. Kepalanya botak. Lensa kontak berwarna grey terpasang di kedua mata.
Nametag di seragam putihnya bertuliskan: Gabriel Purnama Sutanto. Seperti nama malaikat di Alkitab. Apakah ia seorang Christian? Tak ada yang tahu.
Dari manakah dia, lulusan universitas/akademi keperawatan mana, masih jadi misteri. Teman-temannya sesama perawat di rumah mewah tepi pantai tak satu pun yang kenal dengannya. Sosok perawat pria ini menyimpan berjuta misteri.
Ia dekat dengan semua anggota caregiver team. Meski pendiam, ia penolong dan ramah. Semua orang langsung menyukainya. Namun sekali lagi, ia menyimpan rapat segala informasi pribadi.
Saat perawat homecare lainnya beristirahat di ruang baca, perawat satu itu tetap bekerja. Mencuci dan mensterilkan alat-alat kesehatan. Bekerja dalam diam, tetap tersenyum saat orang lain menyapanya. Si perawat tampan tak ikut bergabung saat makan siang. Ia baru bergabung saat Adica, Arlita, dan Aline membujuknya.
"Sebenarnya kamu ini siapa?" tanya Adica penuh selidik, menatap penuh tanya si perawat.
"Hanya perawat biasa," jawabnya sabar. Satu tangan menunjuk nametag di dadanya.
"Namamu bagus." puji Aline.
Si perawat hanya tersenyum. Arlita menawarinya salmon steak dan puding. Tawaran itu dia ambil secukupnya. Meski tubuhnya padat berisi, perawat tampan itu tidak terlalu banyak makan.
"Saya suka softlensmu. Kenapa kamu pilih lensa kontak dari pada kacamata?" Arlita melempar pertanyaan.
"Suka saja, Nyonya Arlita. Saya bosan pakai kacamata."