Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] Titik Kritis Halal

4 Januari 2019   06:00 Diperbarui: 4 Januari 2019   06:04 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Pixabay.com

Dua minggu sesudah Natal, Arlita kembali ke Refrain. Wanita jelita belahan jiwa Assegaf itu sudah siap bersiaran lagi. Ia tak kembali dengan tangan kosong.

"Pagi, Arlita." sapa seisi studio kompak.

Senyum manis Arlita merekah. Beberapa pasang mata menatapnya penuh kehangatan. Menaksir penampilannya seperti biasa. Di hari pertamanya pasca cuti panjang, Arlita hadir mengenakan gaun hitam berpotongan bahu sabrina. Pakaian berpotongan sabrina membuat wanita yang memakainya terlihat dewasa sekaligus imut.

Diam-diam Arlita mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Mencari sosok yang ia rindu. Sosok yang selalu ia sebut namanya dalam doa Novena. Dimanakah dia?

"Cari Assegaf? Dia tak ada di sini."

Deddy bangkit, melangkah ke sisi Arlita. Wanita berdarah Jerman itu melipat kening.

"Sudahlah, nanti juga ketemu kok. Kamu bawa apa?" tunjuk Deddy ke arah dua kantong kertas besar di kedua tangan Arlita.

Sebagai jawaban, Arlita membukanya. Paper bag pertama berisi tiga kotak kue. Satu kotak kue berisi red velvet, kotak lainnya pai buah, dan kotak terakhir chocolate cake. Sementara itu, paper bag kedua berisi sekotak besar blackforest.

"Wow, thanks Arlita! Kamu baik banget deh! Cantik lagi...!" Orang-orang di studio mulai bertingkah, sok memberi pujian.

Mereka senang mendapat makanan lezat pagi ini. Menggerakkan gairah untuk sarapan kedua. Arlita hanya menyerahkan paper bag pertama. Paper bag kedua masih tergenggam di tangan. Alis-alis terangkat, pandangan penuh tanya dilemparkan.

"Kok blackforestnya nggak kamu taruh di sini? Bukan buat kita ya?" tebak mereka kecewa.

Arlita menggeleng. Deddy dan yang lainnya tersenyum, mulai sok tahu lagi.

"Pasti buat Assegaf. Iya, kan? Kamu kan sering memisahkan hadiah spesial kalau mau berbagi ke dia juga."

"Bukan. Ini buat Deddy."

Mata Deddy melebar. Ragu saat Arlita menyerahkan sekotak blackforest ke tangannya. Disambuti tatapan aneh seisi studio. Sejurus kemudian, Deddy menarik tangan Arlita. Membawanya ke sudut ruangan.

"Berikan saja pada Assegaf. Aku tak mau buat dia cemburu. Apa-apaan kamu ini?" sergah pria oriental itu agak marah. Arlita memelototi Deddy.

"Memangnya Assegaf mau makan makanan non-halal?"

"Apa maksudmu?"

**     


Kadang aku ingin bertemu

Dan berbagi waktu yang terlalui

Sukar tuk sadari

Ku tak boleh mengingini

Tanpamu cinta tak berarti

Cinta sudah lewat

Tak kukira kan begini

Mengapa harus telah terikat

Meski tak terucap

Hanya aku yang ada di hatimu (Kahitna-Cinta Sudah Lewat).

**    

Halaman belakang itu memanjang ke samping. Ujungnya adalah tembok putih berjendela kaca. Salah satu jendela membuka ke studio. Orang yang berdiri di halaman bisa melihat apa yang terjadi di dalam.

Assegaf menatapi pantulan bayangan Arlita. Kedatangannya, langkah anggunnya, senyumnya, caranya membagikan kue, semuanya terlihat jelas. Dipatrinya sosok Arlita dalam hati. Arlita, betapa ia rindu padanya.

Ia juga melihat ketika Deddy nyaris menolak blackforest pemberian Arlita. Walau tak berada di sana, Assegaf tahu maksud sebenarnya. Ia hafal betul seperti apa wanitanya.

Motif Arlita memberi sekotak blackforest khusus untuk Deddy bukanlah karena cinta. Melainkan karena perspektif halal dan haram. Blackforest itu mengandung rum. Rum, cairan yang terbuat dari destilasi molase lalu difermentasi dalam tong kayu ek. Produksi rum terbesar berada di Karibia dan Guyana. Rum putih digunakan untuk campuran cocktail, rum coklat untuk memasak/membuat kue, dan rum kualitas tinggi diminum langsung. Dari klasifikasi jenis minuman keras, rum tergolong minuman keras golongan C. Jenis minuman satu ini disebut minuman perompak pada masa lalu.

Kue-kue yang mengandung rum tidak halal. Meski rasanya lebih lezat, tetap saja haram bila setetes saja rum dicampurkan ke dalamnya. Sayangnya, banyak orang sering terlena. Sejumlah hotel dan bakery terkenal menggunakan rum. Titik halal sungguh kritis. Batas antara halal dan haram sangat tipis.

Pemikiran sempit membuat orang hanya fokus pada daging babi dan hewan non-halal lainnya. Mereka lupa. Cake cantik di toko-toko kue ternama pun bisa jadi tidak halal. Keju, misalnya. Keju yang diproduksi dari susu sapi pun memerlukan enzim. Enzim tertentu diambil dari babi. Tepung yang mengandung gelatin juga tak selamanya halal. Banyak gelatin berasal dari babi.

Perlahan dialihkannya tatapan. Dibukanya iPhone, mengakses sosial media. Tergerak hatinya stalking akun Arlita.

Laman profil Arlita terbuka. Memperlihatkan deretan status, link artikel yang dibagikan, foto-foto yang disukai, dan interaksinya dengan followers. Mata Assegaf tertumbuk ke arah status seorang Romo yang di-like dan dikomentari Arlita. Lama Arlita dan selibator itu berbalas komentar. Antusias mendiskusikan agama.

Paku-paku tajam menghantam hati. Assegaf merasakan denyut kesedihan. Sedih, sedih yang sama tiap kali ia mendapati unsur perbedaan antara Arlita dan dirinya.

Assegaf dan Arlita berbeda. Langit pun tahu. Mengapa perbedaan itu terasa sangat menyakitkan?

Hati Assegaf teriris. Kesedihan dan kecemasan mencengkeram kuat batinnya. Cengkeraman kecemasan menguat, terus menguat.

Sungguh, Assegaf sangat takut perpisahan. Dia takut suatu saat nanti berpisah dengan Arlita karena mereka tak bisa menemukan jalan untuk mengatasi perbedaan. Sangat disayangkan bila cinta terpisah hanya karena tembok tinggi perbedaan.

Arlita terlalu berharga, terlalu baik untuk dilepaskan. Hampir dua tahun bersama, Assegaf dan Arlita belum menemukan jalan untuk bersatu. Bayang ketakutan membesar di hatinya.

Setelah menutup aplikasi, Assegaf merasakan pipinya menghangat. Cairan merah mengaliri hidungnya. Kesakitan jiwa mempercepat kesakitan fisik.

"Kenapa sedih, Assegaf Sayang?"

Sehelai sapu tangan diusapkan dengan lembut. Wangi Escada The Moon Sparkel mendesak penciuman. Arlita datang dengan cinta.

"Arlita..." Assegaf memanggil lembut nama belahan jiwanya. Ia melingkarkan lengan, memeluk wanita itu.

Pelukan berbalas pelukan. Cinta dibalas cinta. Aliran darah telah berhenti.

"Kau pasti belum check up lagi," kecam Arlita dalam suara rendah.

"Aku tak nyaman dengan dokter keluarga, Arlita."

"Kenapa?"

"Kurang responsif, slow respon, dan sering menyalahkanku."

"I see."

Sejenak Arlita berpikir-pikir. Hatinya yang lembut menyampaikan rasa tak terima. Tak bisa rasanya melihat orang yang dicintai sakit terus.

"Besok aku carikan dokter lain." ujar Arlita lembut.

Mata Assegaf membola. Binarnya berubah. Ia menangkap ketulusan yang dalam. Sebesar itukah keinginan Arlita untuk melihatnya sembuh?

"Akan kucarikan dokter terbaik untukmu." janji Arlita.

"Terima kasih, Arlita."

Sejurus kemudian, Arlita mengeluarkan sebentuk kalung tasbih. Dipakaikannya kalung itu ke leher Assegaf.

"Aku tidak memberimu blackforest, red velvet, atau pai buah. Karena aku tahu, kau tak butuh itu dariku. Tapi, kuberikan kalung ini untukmu. I love you..."

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun