Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Langit Seputih Mutiara] Dunia Wanita

28 Desember 2018   06:00 Diperbarui: 28 Desember 2018   06:04 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana rasanya memiliki ibu terkenal dan kaya? Tanyakanlah pada Adica. Arlita sosok ibu cantik, populer, kaya, dan dipastikan ia adalah ibu ideal di matanya.

Beruntungnya memiliki ibu seperti itu. Terlebih, Arlita tak pernah lupa keluarga meski disibukkan dengan segudang aktivitas di dunia modeling dan bisnis. Dua dunia itulah yang membuat namanya meroket. Sampai-sampai Refrain memilihnya sebagai narasumber program spesial di akhir tahun, Dunia Wanita.

Wanita itu tergugu. Sapu tangan setengah basah bermotif bunga di tangannya bergetar. Calvin memeluk Nyonya Rose, berbisik menenangkan. Dalam hati dia menyesali kebiasaan sang Mama. Mamanya tak puas-puas stalking insta story anak kedua. Anak kedua yang tak pernah memperhatikannya dan lebih memilih ibu lain.

"Calvin, apa Mama sudah tidak pantas menjadi ibu?" isak Nyonya Rose.

"Sangat pantas, Arlita. Lihat, kau cantik sekali." puji staf-staf wanita, memandangi sosok sempurna Arlita dalam balutan gaun panjang dan hijab berwarna hijau toska.

Sudut bibir Arlita tertarik membentuk senyuman. Lihatlah, bahkan wanita jelita saja masih sering krisis kepercayaan diri. Merasa penampilan tak sempurna.

"Mama ibu yang sempurna, ibu terbaik." Calvin berkata meyakinkan. Lembut mencium kening Nyonya Rose.

"Tapi, kenapa Adica lebih sayang pada Arlita?"

"Ma...semua ada waktunya."

Waktunya masuk studio. Arlita berbalik dari cermin. Melangkah anggun ke studio. Kali ini bukan sebagai penyiar, melainkan sebagai bintang tamu. Adica menyambutnya di pintu studio. Ia tak canggung memeluk Umminya di depan banyak orang. Sama seperti tiap kali ia memeluk Abi Assegaf.

"Ummi cantik sekali,"

Pujian anak lelakinya jauh lebih berkesan. Senyum Arlita kembali merekah. Berdua mereka masuk ke dalam. Setelah filler dan feature, acara Dunia Wanita dimulai.

Talk show itu dibuka dengan sebuah lagu. Adica memutarkan lagu yang representatif.


Kubuka album biru

Penuh debu dan usang

Kupandangi semua gambar diri

Kecil bersih belum ternoda

Fikirku pun melayang

Dahulu penuh kasih

Teringat semua cerita orang

Tentang riwayatku

Kata mereka diriku selalu dimanja

Kata mereka diriku selalu ditimang

Nada-nada yang indah

Selalu terurai darinya

Tangisan nakal dari bibirku

Takkan jadi deritanya

Tangan halus dan suci

Telah menangkap tubuh ini

Jiwa raga dan seluruh hidup

Rela dia berikan

Kata mereka diriku selalu dimanja

Kata mereka diriku selalu ditimang

Oh Bunda

Ada dan tiada

Dirimu kan selalu ada

Di dalam hatiku (Melly Goeslaw-Bunda).

Lagu itu. Ya, lagu itu selalu membangkitkan rasa haru. Wajah Arlita sedikit tertunduk. Teringat mendiang ibunya, teringat kedua anaknya. Cepat sekali waktu berlalu. Dulu, rasanya dia masih menjadi anak kecil yang didandani dan dikuncirkan rambut oleh Maminya. Kini, dia telah menjadi ibu dengan dua anak yang telah beranjak dewasa.

Arlita hanya memiliki satu kali pengalaman melahirkan anak. Namun, kasih sayang ia dapatkan lebih dari satu anak. Tak pernah bernah bersemayam bayi laki-laki di rahimnya. Akan tetapi, sekarang ini ia memperoleh kasih dan cinta dari seorang putra. Betapa istimewanya hidup ini.

Adica lain lagi. Perasaannya berkecamuk mendengarkan alunan lagu. Kenangan-kenangan indah bersama Arlita berhamburan keluar. Arlita yang pertama kali memintanya memanggil Ummi. Arlita yang merawatnya di masa-masa akhir kemoterapi. Arlita yang memberikan darahnya untuk Adica. Walaupun bukan anak biologis, golongan darah Adica dan Arlita sama.

"Mama ingin diperlakukan sama seperti Arlita..." Nyonya Rose mengungkapkan perasaannya, menatap lekat mata Calvin.

"Aku mengerti, Ma. Kalau Adica tak mau, biar aku saja. Aku yang akan tetap mencintai Mama sepenuh hatiku."

**     

Adica dan Arlita duduk bersisian di kotak siaran. Mereka menjumpai pendengar di udara. Dengarlah bagaimana interaksi ibu dan anak itu.

"97.6 FM Refrain Radio, Brilian and Inspiratif. Selamat sore, pendengar. Kali ini saya, Adica Wirawan Assegaf, akan menemani Anda dalam acara Dunia Wanita. Seperti biasa, Dunia Wanita menghadirkan sosok-sosok wanita inspiratif..."

Sungguh tak terduga. Program Dunia Wanita dipandu penyiar pria. Tapi, kali ini spesial. Adica ingin mewawancarai Umminya.

"Pendengar, ibu adalah sosok wanita pertama yang kita kenal. Bahkan, ada yang mengatakan bila cinta pertama anak laki-laki adalah ibunya. Ibu berperan penting dalam pengasuhan anak dan pemberian kasih sayang. Walau tak mutlak sepenuhnya tugas ibu, akan tetapi seorang ibu yang baik semestinya memberikan kasih sayang untuk anak." Adica membawakan pengantar dengan suara empuknya.

Kedua ibu jari Arlita terangkat. Good boy, bisik hati kecilnya. Ia penyiar serba bisa.

"Di studio kita telah kedatangan sosok wanita inspiratif. Dia tak hanya sukses sebagai model dan pemilik butik, tetapi juga sebagai istri dan ibu yang hebat. Siapa dia? Arlita Maria Anastasia Assegaf. Selamat sore, Arlita."

Di udara, jangan harap Adica akan memanggil Arlita dengan sebutan Ummi. Bukannya tak sopan, bukan pula tak hormat. Hanya menjaga profesionalitas.

"Selamat sore..." balas Arlita ramah.

"Kabar baik, Arlita?"

"Alhamdulillah."

Mulailah Adica mewawancarai Umminya. Ia bersikap profesional. Tak melibatkan perasaan sebagai anak. Sesi wawancara ini pure antarra penyiar dengan narasumber.

Arlita menjawab tiap pertanyaan dengan santai tetapi elegan. Sikapnya tenang. Smiling voice tetap terjaga. Gesture dan ekspresinya natural. Meski tak bisa dicegah, beberapa kali ia mengerling bangga pada sang putra. Sorot kasih sayang terpancar dalam di mata wanita blasteran Jerman itu.

"Arlita, bagaimana cara Anda membagi waktu antara karier dan keluarga?"

"Tiap minggu, saya selalu menyusun jadwal kegiatan bersama asisten saya. Sepadat apa pun jadwal pekerjaan, saya berkomitmen harus ada satu-dua jam dalam sehari untuk quality time dengan keluarga. Sebisa mungkin, akhir pekan saya selalu mengosongkan kegiatan di luar. Bisa saja pagi-pagi saya sudah tak di rumah. Tapi malamnya, waktu saya haruslah full buat keluarga. Bagi saya, keluarga adalah prioritas utama. Lebih baik saya kehilangan job dari pada kehilangan waktu bersama keluarga."

"Wow, bagus sekali. Lalu...sekarang ini, adakah perubahan? Sejak suami Anda jatuh sakit, dan Anda harus merawatnya...?"

"Tentu saja. Saya memangkas banyak kegiatan di luar. Kesehatan suami, itu jauh lebih penting."

"Bagaimana dengan anak-anak Anda? Sedekat apa Anda dengan mereka?"

Seperti ada bulu-bulu hakus menggelitiki hati Adica saat melempar pertanyaan itu. Senyum simpul bermain di bibir tipis Arlita.

"Saya mengasihi mereka dengan porsi yang sama. Memiliki mereka membuat hidup saya terasa lengkap. Saya memiliki anak perempuan dan anak laki-laki, nikmat mana lagi yang saya dustakan? Tak semua perempuan diberi kehormatan seperti itu. Sebagai rasa syukur, saya cintai mereka sepenuh jiwa."

Hati Adica berdesir mendengarnya. Pertanyaan itu menutup segmen kedua. Ada jeda iklan dan lagu.

Tepat pada saat itu, pintu studio membuka. Seorang staf wanita yang sudah cukup tua masuk membawa map. Beberapa lembar kertas dan amplop putih tersimpan di map itu. Disodorkannya map biru ke tangan Arlita.

"Arlita, kau tanda tangan di sini. Ini laporan keuangan untuk program Dunia Wanita. Biar ada transparansi, nanti aku ditegur suamimu."

"Ok. Sebentar ya." Arlita meraih pulpen, lalu menandatanganinya.

"Dan ini honor untukmu. Honor narasumber."

Dengan lembut tapi tegas, Arlita menepis amplop kecil berisi sejumlah uang yang diulurkan si staf berumur. Diserahkannya amplop itu ke tangan staf suaminya.

"Untukmu saja. Kau leih membutuhkannya, aku yakin." ujar Arlita.

Mata si staf membola. "Benarkah?"

Satu anggukan Arlita sudah cukup. Si staf berumur itu mengantongi amplopnya, pelan berterima kasih.

Manik mata Adica mengawasi momen itu. Hatinya menghangat dialiri rasa bangga. Bangga sekali ia pada Umminya. Narasumber mana yang memberikan uang jatahnya untuk pegawai radio?

Tak perlu membuang-buang energi untuk memberi nasihat kebaikan. Cukup tunjukkan saja. Jangan mengandalkan kata-kata, tapi andalkan aksi.

Selepas kepergian staf berumur, Adica merengkuh Arlita ke pelukannya. Ia berbisik ke telinga wanita itu.

"Aku cinta Ummi...seperti aku cinta Abi."

**     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun