Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] Bidadari Cantik Pemandu Kuliah Subuh

22 Desember 2018   06:00 Diperbarui: 22 Desember 2018   10:41 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kembali ke Refrain?" ulang Arlita tak percaya.

Abi Assegaf mengiyakan. Lembut memeluk pundak istrinya. Arlita masih setengah tak percaya. Sudah lama ia tak bersiaran. Bahkan ia tak berencana kembali lagi mengudara. Mengurus keluarga dan butik cukup menguras waktunya. Meski berhenti mengudara, rasa cinta Arlita pada radio tetap dalam jiwa.

"Ayolah Arlita, bukankah kamu punya jam terbang sangat tinggi? Bukankah dulu kamu pernah memandu Kuliah Subuh, bahkan sebelum kamu jadi mualaf?" bujuk Abi Assegaf lembut.

"Iya, tapi itu dulu..."

"Refrain butuh kamu, Sayang."

Dalam hati, Arlita menahan tanda tanya. Mengapa suaminya tak mencari pengganti Deddy? Mengapa bukan Adica saja? Mengapa harus dirinya?

"Kamu atau Refrain yang lebih butuh aku?" desis Arlita.

Mendengar itu, Abi Assegaf terenyak. Dadanya kembali terasa ditusuk ribuan jarum. Baik dirinya maupun Refrain memerlukan sosok Arlita.

"Kamu menuruti kata hatimu sendiri atau permintaan Bunda Rika?" Arlita mencecar, nadanya interogatif.

Bukannya menjawab, Abi Assegaf bergerak mengambil biola putih. Digesekkannya bow, lalu ia bernyanyi.


Kala surya menghilang

Bulan dan bintang kan bersemi lagi

Bagaikan pelita

Yang datang menyinari sukma

Yang dilanda lara

Duka nestapa

Kala burung berkicau

Mentari pagi akan datang lagi

Menghangatkan hati yang sedang

Dimabuk asmara

Yang dilanda lara

Dimanakah akan kucari pengganti dirimu

Entah dimana

Oh dimana, oh dimana

Dimana lagi harus kucari

Mengapakah diri ini

Harus tersiksa lagi

Entah mengapa

Oh mengapa, oh mengapa

Tersiksa lagi (Wilson Idol ft Tohpati-Tersiksa Lagi).

Arlita menggigit bibir bawahnya. Jika sudah begitu, kata 'tidak' riskan terucap. Gesekan biola, suara barithon lembut, dan tatapan teduh itu sungguh meluluhkan.

"Tapi..." Arlita tergagap.

"Mengapa...harus aku? Mengurus dirimu, anak-anak kita, dan butik sudah cukup menyita waktu."

"Aku akan baik-baik saja, Arlita Sayang. Kau hanya memandu satu program. Aku ingin Mitra Kuliah Subuh tetap nyaman dan bahagia. Aku tidak ingin rating acara ruang keagamaan menurun hanya karena penyiarnya tidak berkarakter."

"Apakah Adica, Sasmita, dan penyiar lainnya tidak cukup berkarakter?"

Kritis sekali Arlita. Mana mungkin ia menelan begitu saja satu pertanyaan tanpa melihatnya dari sudut pandang lain? Lama hidup bersama, Abi Assegaf paham istrinya sangat sulit diyakinkan.

"Arlita, kamu tahu? Aku sangat mencintai program Kuliah Subuh. Program pertama yang kubawakan sejak dulu...sejak 19 tahun lalu. Aku takut sekali program yang kupandu, program yang kucintai, tetiba kehilangan aura pesonanya. Jangan sampai itu terjadi."

"Lebih cinta mana? Dirimu sendiri atau Kuliah Subuh?"

Kalau boleh, mau rasanya Abi Assegaf mematikan tombol kritis di otak Arlita. Mengapa pertanyaan sesulit itu harus terlempar? Namanya passion, tak mudah menjawab pertanyaan macam itu. Satu hal yang pasti: Abi Assegaf sangat, sangat cinta program Kuliah Subuh. Sama besarnya dengan rasa cinta pada dunia broadcasting.

Tak tega juga Arlita melihat raut putus asa di wajah tampan suaminya. Allah mengangkat lagi sisi lembut sang mualaf cantik. Perlahan tetapi pasti, hatinya melembut.

Satu anggukan Arlita sudah melegakan hati Abi Assegaf. Lihatlah, menundukkan hati tak perlu dengan kekerasan. Cukup dengan kelembutan.

"Terima kasih, Sayang..."

"Tapi hanya untuk sementara." Arlita memotong, nadanya dingin. Masih terlalu gengsi memperlihatkan sisi tak tega.

**      

Mengikuti kebiasaan sang suami, pukul tiga pagi Arlita sudah bangun. Ia melangkah ke kloset pakaian. Memilih-milih baju, mempertimbangkan gamis atau dress Turki apa yang akan digunakan untuk pagi pertama. Ok fine, ini siaran radio. Bukannya program talk show di televisi yang sangat mengutamakan penampilan. Eits, jangan lupa. Kini Refrain Radio ada situs refrain.net-nya. Di refrain.net, para pendengar bisa melihat langsung para penyiar di studio. Aneh rasanya bila memandu program religi tapi penampilan tidak Islami.

Lama memilih, akhirnya Arlita menjatuhkan pilihan pada sehelai gamis putih berbordir emas dan berpotongan mewah. Gamis itu masih baru. Harganya cukup mahal. Bukan pemberian Abi Assegaf, bukan pula Syifa. Tetapi dari Adica.

Adica dan Syifa tahu apa yang akan dilakukan Umminya. Mereka pun terbangun di sepertiga malam. Memberi dukungan dengan cara mereka sendiri. Adica menyiapkan mobil. Syifa menyeduhkan coklat hangat. Meleleh hati Arlita diberi perhatian begitu rupa.

"Wellcome back to Refrain, Ummi." kata Adica, tersenyum tulus.

Arlita membalas senyumnya. Menyesap coklat hangat pelan-pelan. Syifa menanyakan kabar narasumber Kuliah Subuh.

"Bagaimana kabar Pak Kyai, Ummi?"

"Ummi belum tanya, Sayang. Nanti kan Ummi bicara dengannya."

"Salam untuk beliau."

Permintaan Syifa disambuti anggukan samar Arlita. Sisi positifnya, ia bisa kembali mempererat ikatan silaturahmi dengan Kyai kesohor itu. Biasanya, sang Kyai lebih banyak berkorespondensi dengan suaminya.

Seraya menikmati coklat panas, Arlita membolak-balik lembar naskah berisi topik hari ini. Ulasan sufistik dan mendalam tentang Kehidupan yang Hakiki. Walaupun bukan narasumber, tetap saja ia perlu menguasai materi. Penguasaan materi adalah kunci.

Adica dan Syifa menemani Arlita sampai ke halaman depan. Mereka tak tega membangunkan Abi Assegaf. Sejak kemarin, kondisi kesehatan Abi Assegaf tak cukup baik. Arlita hanya berpesan pada anak-anaknya untuk menjaga Abi mereka.

Sedan mewah itu meluncur pergi. Adica dan Syifa melambaikan tangan. Sejurus kemudian, mereka berbalik kembali ke dalam rumah.

Betapa herannya mereka melihat Abi Assegaf berjalan menuruni tangga. Keduanya sigap membantu. Terlambat, Arlita telah pergi ke studio. Pastilah Abi Assegaf mencari-cari Arlita.

**    

"Assalamualaikum warrahmatullahi wa barakatuh. Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah karena kita dapat berjumpa lagi dalam program Kuliah Subuh. Saya, Arlita Maria Anastasia Assegaf, akan menemani Anda hingga jelang pukul enam. Saya tidak sendiri. Ada Rika Purnama sebagai pengarah siaran, dan Tommy Ruhendi sebagai pengarah teknik. Topik kita pagi ini adalah...Kehidupan yang Hakiki."

Wanita cantik itu membuka program. Luwes dan elegan seperti biasa. Di meja produser, Bunda Rika meneteskan air mata. Kedua ibu jarinya bertaut, saling mengait. Hatinya bangga dan terharu. Dia belajar ilmu ketegaran, ilmu ketabahan, dan ilmu kesabaran dari Arlita.

"Arlita...kamu mendapatkan segalanya."

Di lain tempat, belasan kilometer dari Refrain Radio, seorang wanita surviver kanker menangis. Menekapkan bantal kee wajah. Dadanya membara dengan rasa iri.

Walau menguragi intensitas manuvernya dengan suami orang, wanita ini diam-diam masih memantau incarannya. Jangan kira Debby Kamila akan berhenti begitu saja. Perempuan pemantik api cemburu itu memang perlu diwaspadai.

Mendengarkan siaran Arlita, air mata kemarahan menjatuhi pipi chubby Kamila. Emosi negatif memuncak. Perempuan ini tetap tak terima dengan sempurnanya Arlita dan ketulusan Abi Assegaf bertahan mencintainya. Kamila iri, sungguh iri pada istri Abi Assegaf.

**      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun