"Mengapa...harus aku? Mengurus dirimu, anak-anak kita, dan butik sudah cukup menyita waktu."
"Aku akan baik-baik saja, Arlita Sayang. Kau hanya memandu satu program. Aku ingin Mitra Kuliah Subuh tetap nyaman dan bahagia. Aku tidak ingin rating acara ruang keagamaan menurun hanya karena penyiarnya tidak berkarakter."
"Apakah Adica, Sasmita, dan penyiar lainnya tidak cukup berkarakter?"
Kritis sekali Arlita. Mana mungkin ia menelan begitu saja satu pertanyaan tanpa melihatnya dari sudut pandang lain? Lama hidup bersama, Abi Assegaf paham istrinya sangat sulit diyakinkan.
"Arlita, kamu tahu? Aku sangat mencintai program Kuliah Subuh. Program pertama yang kubawakan sejak dulu...sejak 19 tahun lalu. Aku takut sekali program yang kupandu, program yang kucintai, tetiba kehilangan aura pesonanya. Jangan sampai itu terjadi."
"Lebih cinta mana? Dirimu sendiri atau Kuliah Subuh?"
Kalau boleh, mau rasanya Abi Assegaf mematikan tombol kritis di otak Arlita. Mengapa pertanyaan sesulit itu harus terlempar? Namanya passion, tak mudah menjawab pertanyaan macam itu. Satu hal yang pasti: Abi Assegaf sangat, sangat cinta program Kuliah Subuh. Sama besarnya dengan rasa cinta pada dunia broadcasting.
Tak tega juga Arlita melihat raut putus asa di wajah tampan suaminya. Allah mengangkat lagi sisi lembut sang mualaf cantik. Perlahan tetapi pasti, hatinya melembut.
Satu anggukan Arlita sudah melegakan hati Abi Assegaf. Lihatlah, menundukkan hati tak perlu dengan kekerasan. Cukup dengan kelembutan.
"Terima kasih, Sayang..."
"Tapi hanya untuk sementara." Arlita memotong, nadanya dingin. Masih terlalu gengsi memperlihatkan sisi tak tega.