Pemuda tampan orientalis itu terperangah. Setelah sekian lama, ia mimisan lagi. Mungkinkah itu pertanda agar dirinya tak boleh terlalu memforsir tubuh dan pikiran?
"Ternyata kamu masih sakit ya?"
Adica menggeleng pelan. Ia yakin, dirinya sehat. Kenyataannya berbalik tajam.
Dengan lembut, Syifa mengusap bersih darah itu. Sapu tangan kesayangannya penuh bercak merah. Membiaskan rasa bersalah di hati Adica. Ia telah mengotori benda kesayangan Syifa.
"Hari ini kamu jangan siaran dulu ya. Istirahat saja."
"Nope." tolak Silvi tegas.
Susu dan roti panggangnya tandas. Revan telah mengosongkan nampan sarapannya beberapa menit lebih cepat. Gemericik air mancur melatarbelakangi perdebatan kecil mereka.
"Aku jadi ragu," ungkap Revan jujur. Mata birunya menyorotkan keraguan.
"Apakah Calvin akan sembuh total dan bisa menjadi pendamping hidupmu?"
Pasti bisa, dua kata itu Calvin bisikkan berulang-ulang dalam hati. Dirinya pasti bisa pulih lebih cepat dan menata hidup. Jalan masih panjang. Banyak yang harus diselesaikan: skripsi, blog pribadi, tanggung jawab meneruskan perusahaan Papanya, mengasihi sang adik kandung dari jauh, dan janji menikahi Silvi. Tekad membulat sempurna. Ia harus bisa.
"Aku masih bisa siaran, Syifa." Adica berkeras. Sekilas menatap wajah pucatnya di cermin.