Kata-kata Arlita terdengar mantap dan powerful. Abi Assegaf tersentuh. Ia yakin, sang istri sungguh-sungguh mencintainya. Namun, masih ada satu pertanyaan lagi yang mengusik pikirannya.
"Arlita, apa kau akan tetap memilihku jika kau tahu pada akhirnya aku akan sakit separah ini?"
"Of course. Penyakitmu bukan alasanku untuk tidak memilihmu."
Demi Allah, Abi Assegaf tak pernah menyesali sel-sel kanker yang hadir di tubuhnya. Ia hanya khawatir tak bisa menjadi sandaran, tulang punggung, dan pemimpin yang baik untuk keluarga. Bebannya terasa lebih ringan ketika Arlita mengatakan itu semua.
Sejurus kemudian, Arlita memeluk Abi Assegaf dan berujar. "Aku yakin, anak-anak kita pun tak menyesal memilikimu. Justru mereka bangga dengan Abinya."
Benarkah itu? Hati Abi Assegaf meragu. Sudahkah ia jadi Abi yang membanggakan?
** Â Â Â
Di halaman depan yang berhias air mancur, Revan tertawa. Tak hentinya dia mengomentari penampilan Silvi. Hanya sarapan pagi di ruang terbuka saja, tampilannya sesempurna itu.
"Silvi Sayang, kau mau sarapan denganku atau kencan dengan Calvin?"
Calvin kembali sendirian di rumah mewah lereng bukit. Kesepian, ia melangkah mengelilingi rumah bertingkat tiga itu. Berharap kemewahan dan penyakit tak selamanya menjadi penjara tersamar. Ya, Calvin merasa seperti terpenjara sejak divonis kanker darah.
"Adica, darah..." desah Syifa cemas.