Ray Wiharja bermain musik tiga kali seminggu di Padma Wiharja Hotel. Ia pandai memainkan gitar, saksofon, keyboard, drum, bass, dan trombon. Tampil casual, itulah kesenangannya. Ray Wiharja paling anti pakaian rapi semacam jas atau tuxedo.
Diam-diam Syifa mencuri pandang ke arah Adica dan Ray Wiharja. Keduanya jelas sangat berbeda. Adica seseorang yang sangat preskriptif dan terstruktur. Pakaiannya harus rapi. Senang sekali tampil formal dengan jas-jas mahalnya. Adica mahir memainkan biola, instrumen musik yang tidak bisa dimainkan Ray Wiharja.
Bila Adica sangat perfeksionis dan pecinta peraturan, Ray Wiharja justru pelanggar peraturan. Baginya, peraturan dibuat untuk dilanggar. Terbukti dengan seringnya ia datang terlambat ke kampus. Belum lagi gaya berpakaian dan gaya rambutnya.
Lihatlah saat mereka bersalaman. Adica cepat-cepat menarik tangannya. Ray Wiharja tersenyum lebar. Ia bersikap normal, seolah tak pernah mengatai Adica punya Granulomatosis Wegener.
"Sudah musuhannya?" tanya Syifa waswas.
"Dia duluan yang mulai," kata Adica dingin.
"Siapa yang menyebut-nyebut penyakitku dan mempengaruhi Syifa?"
Ray Wiharja mengangkat tangannya, tersenyum makin lebar. "Kenyataan, kan? Kamu memang sakit. Masa sahabat cantikku pasangannya sakit-sakitan sih?"
"Aku memang sakit, tapi aku masih bisa membahagiakan Syifa."
Tenang dan dingin, kombinasi memikat dari anak angkat Abi Assegaf. Lampu kewaspadaan Syifa belum mati juga.
Senyum meremehkan bermain di bibir Ray Wiharja. Benarkah kau mampu? Begitu maknanya.