Andreas Wiharja meneleponnya. Bukan menawarkan kerjasama, bukan pula menuntut ganti rugi. Ia hanya melayangkan permintaan maaf.
"Maafkan anakku ya. Gara-gara Ray, Adica dan Syifa bertengkar." ucapnya tak enak hati.
"Tidak apa-apa. Sekarang mereka sudah berbaikan." Abi Assegaf berkata menenangkan.
"Ya, tapi tetap saja aku merasa bersalah."
Sesaat dua pengusaha sukses itu berbincang. Sampai akhirnya, undangan manis ditawarkan. Siaran eksklusif program Dialog Olahraga di hotel milik Andreas Wiharja. Tawaran semanis chocolate cake itu, mana mungkin ditolak?
Adica tersenyum sentimen dari balik partisi. Seharusnya Ray Wiharja berani minta maaf secara gentle. Bukannya sang ayah yang memintakan maaf. Mungkinkah Ray tipe anak Papi?
Syifa datang mengagetkannya. Bertanya mengapa ekspresinya horor begitu. Adica mengelak, pelan menarik lengan Syifa ke garasi. Mereka sudah tak punya waktu lagi.
Arlita, yang mendengar suaminya mendapat undangan eksklusif dari Andreas Wiharja, ngotot minta ikut. Hobi lamanya hunting cake di hotel berbintang bangkit lagi. Luluh juga Abi Assegaf dibujuk istrinya. Alhasil, keempat anggota keluarga Assegaf meluncur ke Padma Wiharja Hotel.
** Â Â
Lebih baik bangun cinta
Dari pada jatuh cinta
Jatuh itu sakit
Bangun itu semangat
Lebih baik bangun cinta
Dari pada jatuh cinta
Meski tak mudah
Namun cinta
Jadi punya tujuan... (ANPM-Bangun Cinta).
Gitar akustik di pangkuannya melentingkan nada-nada riang. Lagu pertama yang dimainkannya sore ini di lobi utama hotel milik sang Papa. Seraya memainkan gitar, ia nyanyikan lirik-liriknya.
Pemuda berT-shirt hitam itu tak menyadari kedatangan dua sosok yang dikenalnya. Dua pasang mata mengawasinya sejak tadi. Entah stay cool, entah benar-benar tak fokus dengan kondisi sekitar. Dia sama sekali tak merasa diperhatikan.
Sok cool, pikir Adica geram. Ditatapnya anak pemilik hotel pembakar api cemburu itu. Syifa sedikit tegang, takut sahabat dan pujaan hatinya terlibat kontak fisik yang tidak diinginkan.
Ray Wiharja bermain musik tiga kali seminggu di Padma Wiharja Hotel. Ia pandai memainkan gitar, saksofon, keyboard, drum, bass, dan trombon. Tampil casual, itulah kesenangannya. Ray Wiharja paling anti pakaian rapi semacam jas atau tuxedo.
Diam-diam Syifa mencuri pandang ke arah Adica dan Ray Wiharja. Keduanya jelas sangat berbeda. Adica seseorang yang sangat preskriptif dan terstruktur. Pakaiannya harus rapi. Senang sekali tampil formal dengan jas-jas mahalnya. Adica mahir memainkan biola, instrumen musik yang tidak bisa dimainkan Ray Wiharja.
Bila Adica sangat perfeksionis dan pecinta peraturan, Ray Wiharja justru pelanggar peraturan. Baginya, peraturan dibuat untuk dilanggar. Terbukti dengan seringnya ia datang terlambat ke kampus. Belum lagi gaya berpakaian dan gaya rambutnya.
Lihatlah saat mereka bersalaman. Adica cepat-cepat menarik tangannya. Ray Wiharja tersenyum lebar. Ia bersikap normal, seolah tak pernah mengatai Adica punya Granulomatosis Wegener.
"Sudah musuhannya?" tanya Syifa waswas.
"Dia duluan yang mulai," kata Adica dingin.
"Siapa yang menyebut-nyebut penyakitku dan mempengaruhi Syifa?"
Ray Wiharja mengangkat tangannya, tersenyum makin lebar. "Kenyataan, kan? Kamu memang sakit. Masa sahabat cantikku pasangannya sakit-sakitan sih?"
"Aku memang sakit, tapi aku masih bisa membahagiakan Syifa."
Tenang dan dingin, kombinasi memikat dari anak angkat Abi Assegaf. Lampu kewaspadaan Syifa belum mati juga.
Senyum meremehkan bermain di bibir Ray Wiharja. Benarkah kau mampu? Begitu maknanya.
Orang-orang yang keluar-masuk lobi menatap aneh mereka bertiga. Seakan tahu, ketiganya sedang terlibat ketegangan. Sulit menentukan mana yang paling insecured di antara mereka.
"Tubuhmu saja sakit. Bagaimana mungkin kamu bisa membahagiakan orang lain?" Ray Wiharja melemparkan ejekan penuh kemenangan.
"Ray, lebih baik kau cari pasangan dari pada memprovokasi Syifa."
Tangan kanan Ray Wiharja melambai ke arah replika lukisan Monalisa di dinding. "Eits, tak semudah itu. Aku sudah menutup pintu hatiku untuk semua perempuan cantik yang menginginkanku sebagai pasangannya."
Adica terbelalak. Syifa menyilangkan lengan, paham betul pilihan hidup sahabat freakynya.
"Jadi...?"
"Ya, aku tak ada apa-apa dengan Syifa." potong Ray Wiharja lugas.
Satu sisi lain Ray Wiharja yang sulit dipahami: tidak mau menikah karena menolak percaya cinta wanita. Meski berprinsip tak menikah, Ray Wiharja sangat menyayangi Syifa sebagai sahabatnya.
Orang aneh, Adica tak tahan memunculkan dua kata itu dalam lembar persepsinya. Bagaimana mungkin gadis cantiknya bersahabat dengan Ray Wiharja?
** Â Â Â
Adi Renaldi bukanlah newbie dalam dunia broadcasting. Jam terbangnya cukup tinggi. Ia expert di bidang reportase olahraga.Selama bertahun-tahun, kiprahnya sebagai reporter olahraga dan pemandu program Sportainment di Refrain Radio layak dikagumi.
Sosoknya yang tinggi besar, pembawaan tegasnya, cara bicaranya yang penuh semangat, dan gaya siarannya yang menggebu-gebu sangat cocok dalam bidang olahraga. Ia kritis. Pengamat isu-isu olahraga yang cerdas.
Bila disandingkan dengan Abi Assegaf, jelas Adi Renaldi sangat kontras. Abi Assegaf lembut dan berwibawa, Adi Renaldi tegas dan penuh semangat. Abi Assegaf kalem dan sabar, Adi Renaldi ekstrovert dan periang. Namun percayalah, mereka berteman dekat di atas segala perbedaan.
"Assegaf!"
Adi Renaldi berlari ke arahnya, memberi pelukan persahabatan. Dua lelaki yang nyaris sama tinggi itu berpelukan. Tak peduli tatapan aneh para pengunjung restoran hotel.
"Kamu sudah jauh berubah..." ucapnya, menepuk-nepuk punggung Abi Assegaf.
Cuti panjang yang diambilnya membuat ia sedikit kurang update. Adi Renaldi mendapat project prospektif di luar negeri. Syukurlah Refrain Radio memberinya toleransi. Kini ia sudah kembali.
"Dalam hidup pasti ada perubahan, Renaldi." balas Abi Assegaf.
Adi Renaldi tersenyum samar. "Tapi kamu tetap lembut, tetap hangat, tetap saleh."
"Soal saleh, aku tidak bisa menilai."
Tangan kekar Adi Renaldi memapah Abi Assegaf ke meja no 21. Ia tahu, Abi Assegaf butuh bantuan. Mulai sekarang, dia akan berusaha selalu ada.
"Aku menyesal tidak menghadiri pemakaman Deddy." ungkap Adi Renaldi.
"Jangan disesali. Ziarahi saja makamnya. Nanti kutemani."
Dugaannya benar. Abi Assegaf tak benar-benar berubah. Hanya tubuhnya saja yang menyusut.
Kedatangan atlet dan official pelatih memecah kebersamaan mereka. Adi Renaldi bersiap mewawancarai mereka. Wawancara eksklusif siaran Dialog Olahraga. Bukan di studio seperti biasa, melainkan di restoran hotel berbintang.
Andreas Wiharja menepati janji. Diberinya service terbaik untuk keluarga Assegaf, Adi Renaldi, dan para narasumber. Kopi yang dihidangkan begitu hangat dan nikmat. Manisnya chocolate cake terasa pas di ujung lidah. Para pelayan sangat ramah. Care and helpful. Mereka tak keberatan mengganti kopi yang ditolak Abi Assegaf dengan secangkir teh Earl Grey.
Manik mata Abi Assegaf lekat mengawasi gesture dan tingkah Adi Renaldi. Suka sekali ia mengamati keceriaan reporter sekaligus kawan baiknya ini. Ia bukan hanya pintar mewawancarai, tetapi juga pintar memilih lagu-lagu cantik yang tepat untuk melengkapi selingan dialog interaktif itu.
Satu setengah jam lamanya Adi Renaldi menjalankan wawancara. Seperempat jam terakhir, radar kewaspadaannya membisikkan keanehan. Ia lihat wajah Abi Assegaf lebih pucat dari sebelumnya. Satu-dua kali ia nyaris terjatuh dari kursi.
"Assegaf, are you ok?" Adi Renaldi sedikit cemas, memegang erat lengan Abi Assegaf. Menahan tubuhnya.
"Sebentar lagi selesai...satu kali naik siaran lagi. Setelah itu, aku akan menemanimu."
Tepat pada saat itu, seorang pelayan pria bertopi Santa Klaus dan memakai syal merah bergegas mendekat. Ia membawakan gelas kedua berisi teh. Sopan menawarkan bantuan.
"Saya tidak apa-apa," ujar Abi Assegaf. Kemudian pandangannya tertumbuk pada wajah pelayan resto tersebut.
"Mengapa kamu terlihat sedih? Ada masalah?"
Betapa kagetnya si pelayan sebab diperhatikan Abi Assegaf. Dia tertunduk, memain-mainkan syalnya. Lalu menunjuk pohon Natal yang terpasang di dekat kolam kecil.
"Saya Muslim..." Ia mulai bercerita.
"Demi keluarga, saya bekerja keras di sini. Saya sedih karena terpaksa memakai atribut Natal. Selain itu, saya harus memasang pohon Natal. Saat memasang pohon Natal, saya teringat Ibu di kampung. Rasanya ironis sekali ya. Saya bisa membantu pasang pohon Natal, tapi saya tak bisa bantu Ibu membuat ketupat saat Lebaran."
Potret ironi kehidupan. Tersentuh hati Abi Assegaf mendengarnya. Bahkan, perhatian Adi Renaldi terpecah. Tertangkap kesedihan Muslim kesepian di tengah gemerlap suasana Natal.
Susah payah Adi Renaldi menjaga profesionalitasnya. Walau berempati, tapi ia masih terikat durasi pekerjaan. 15 menit berlalu dengan cepat. Begitu siaran Dialog Olahraga berakhir...
"Renaldi, temani aku ke ruangan Andreas. Aku ingin bicara dengannya."
"Ok. Ayo berdiri. Pelan-pelan..."
Dua tangan kokoh Adi Renaldi menopang berat tubuh Abi Assegaf. Reporter bertubuhatletis itu menemani Abi Assegaf ke ruangan Andreas Wiharja.
Pemilik hotel itu tak menyangka Abi Assegaf datang ke ruangannya. Laporan-laporan yang harus ditandatangani ia tinggalkan begitu saja.
"Ada apa, Assegaf? Ada apa?" tanyanya ramah, ramah sekali.
Abi Assegaf menatap mata sipitnya lurus, ekspresi wajahnya serius.
"Andreas, boleh saya minta tolong satu hal?"
"Tentu saja, tentu saja."
"Tolong hargai karyawan-karyawan Muslimmu. Jangan sampai mereka dipaksa memakai apa yang tidak ingin mereka pakai dengan alasan pekerjaan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H