Sore yang muram menutup langit. Seperti sehelai jubah kelabu yang dilempar ke angkasa. Cuaca tak bersahabat.
Di tengah cuaca sedingin ini, Adica terkurung dalam akuarium raksasa bernama kotak siaran. Suhu pendingin udara di studio menyaingi dinginnya udara di luar sana. Setelan Armani yang melekat di tubuhnya ternyata tak cukup menahan rasa dingin.
"Arlita, dingin..." gumam Abi Assegaf tanpa sadar.
Tak sulit Arlita membedakan rintihan kesakitan dan gumaman. Ia sadar, suaminya merasakan dingin dan sakit. Dalam hati ia menyalahkan AC di ruang rapat kantor pusat Assegaf Group yang di-set pada suhu terendah. Siapa pun yang mengatur suhu, Arlita ingin sekali menegurnya.
Setetes darah terjatuh dari hidung Abi Assegaf. Rasa sakit menghebat, diikuti aliran darah. Kecemasan menggelembung di hati Arlita. Pelan dibujuknya suaminya kembali ke rumah. Biarkan saja urusan di kantor pusat ditangani orang kepercayaan mereka.
Bujukan Arlita direspon penolakan. Abi Assegaf berkeras tetap di sini. Ia malah memaksakan diri bangkit dari kursi empuknya.
"Aku harus ambil beberapa dokumen di ruang kerjaku, Arlita."
"Ah, biar aku saja. Atau kita suruh sekretarismu."
"Tidak." tolak Abi Assegaf, lalu berjalan pergi.
Pria tangguh dan berwibawa itu melangkah menyusuri koridor. Ruang kerjanya satu lantai dengan meeting room. Tusukan rasa sakit di dada membuat langkahnya melambat. Beberapa meter dari pintu ruang kerja, Abi Assegaf terjatuh. Sakit, sakit berkali-kali lipat mendera tubuhnya.
"Assegaf!"