Jantung Adica berdetak dua kali lebih cepat. Tangan Syifa berubah dingin.
"Suara...siapa?" tanya Adica terbata.
"Suaranya empuk. Tapi bukan suaramu sih. Ehm...mirip suaranya Deddy Riantama."
Helaan nafas tertahan di tenggorokan mereka. Adica dan Syifa bertukar pandang ketakutan. Ternyata benar apa yang dikatakan Abi Assegaf beberapa malam lalu. Mereka kira, Abi Assegaf hanya terlalu lelah. Atau bisa saja efek delusional karena sakit dan semacamnya.
Ya, Allah, apa yang terjadi? Mungkinkah para pendengar lainnya curiga pula? Cepat-cepat Adica membuka grup komunitas pendengar. Benar, mereka tengah sibuk membicarakannya. Banyak yang menduga-duga kemungkinan mistik. Ada pula yang mengaitkan misteri ini dengan Qarin, golongan jin pendamping manusia dan menyaru sebagai sosok manusia yang telah mati.
Klise, sangat klise. Apa-apa dikaitkan dengan mistik. Apa-apa dihubungkan dengan takhayul. Seperti hidup di zaman Megalitikum saja. Primitif.
Tengkuk Syifa merinding membaca rangkaian chat WAG komunitas pendengar. Dicengkeramnya lengan Adica erat-erat hingga pemuda orientalis itu berteriak kesakitan. Bagaimana tidak, Syifa mencengkeram lengan kanan yang dulu dipenuhi bekas suntikan obat-obatan kemoterapi.
"Adica, bukankah waktu itu kamu siaran Nuansa Malam? Adakah yang mencurigakan?" Syifa menanyai, gugup.
"Tidak ada. Semuanya normal-normal saja. Hanya ada produser acara, operator, dan Pak Sasmita."
Wajah Syifa kembali hampa. Belum ada titik terang dalam misteri ini. WAG komunitas pendengar terus menggulirkan percakapan-percakapan takhayul. Kesal, Adica mengaktifkan fitur 'hening' pada grup itu.
"Syifa, aku harus pulang. Abi pasti butuh aku. Is it ok?"