Debur ombak membangunkan Abi Assegaf. Sepasang mata teduh itu perlahan membuka. Ia terbangun disambut kesepian.
"Papa kesepian, Calvin. Kamu jarang di rumah. Kamu terlalu sering memperhatikan Assegaf." keluh Tuan Effendi.
Calvin mengangguk. Ia mengerti, sangat mengerti. Namun, haruskah ia mengingkari janjinya pada Adica?
Adica bergerak resah di kursi siaran. Produser acara dan pengarah teknik yang menemaninya melayangkan tatapan curiga. Kenapa lagi anak ini? Pikir mereka bertanya-tanya. Sejak tadi, ia tak berkonsentrasi membawakan sajian musik dan informasi.
Tak tahan merasakan desakan frustrasi, Adica menyalakan iPhonenya. Ia harus mengecek kondisi Abi Assegaf. Sungguh, dia resah meninggalkan Abinya sendirian di rumah. Siang ini, dia sibuk sekali. Ada jadwal siaran hingga pukul tujuh malam. Arlita mengurus butiknya. Syifa menjadi delegasi perwakilan kampus untuk kegiatan intern universitas.
"Ya, Allah, jagalah Abi Assegaf. Jauhkan ia dari rasa sakit..." desah Adica penuh harap.
Harapnya lesap. Abi Assegaf terhuyung menuruni tangga marmer. Tak ia temukan tiga orang yang paling disayanginya. Sudahkah mereka melupakannya? Terlalu sibukkah mereka hari ini?
"Arlita...Adica...Asyifa." panggil Abi Assegaf lirih. Di sela langkah yang memelan, di antara helaan nafas yang kian menipis, Abi Assegaf nyaris menyerah dengan kelemahannya.
Keheningan rumah mewah tepi pantai membuatnya putus asa. Abi Assegaf kembali ke kamarnya. Ia ambil biola, lalu melangkah ke balkon. Di balkon, Abi Assegaf bermain biola dan bernyanyi.
Andaikan kabut tak menyulam