Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] Awan Hitam di Radio

20 November 2018   06:00 Diperbarui: 20 November 2018   06:24 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak musim hujan tiba, pagi tak lagi cerah disinari mentari. Langit pagi selalu terlihat putih, abu-abu dingin, bahkan hitam berlapis awan Nimbus. Pagi ini, langit kembali putih. Udara dingin sekali. Angin berteriak, bersaing dengan debur ombak.

Rumah mewah tepi pantai itu mulai berdenyut sibuk sejak pukul empat pagi. Enam pelayan bangun, bebersih, dan menyiapkan sarapan. Di lantai atas, Arlita terbangun dari tidurnya dan menemukan Abi Assegaf masih video call dengan Deddy. Cepat-cepat dibangunkannya Adica dan Syifa.

Denyut aktivitas terus terasa. Jam demi jam bergulir. Langit pagi memutih, siap memuntahkan hujan menjelang pukul enam. Waktunya sarapan. Abi Assegaf kesulitan bangun dari tempat tidurnya, namun ia memaksakan diri. Adica memapah Abinya tanpa diminta.

Ruang makan dengan dominan warna krem itu sunyi. Sangat sunyi. Pesawat radio rusak, belum sempat dibetulkan. Perintah Abi Assegaf untuk memperbaikinya segera dikerjakan. Rumah tanpa radio serasa rumah tanpa jendela.

Entah mengapa, perasaan Abi Assegaf tak tenang. Pesawat radio yang tiba-tiba rusak membuatnya terusik. Arlita menenangkan. Semuanya akan baik-baik saja.

"Hanya rusak, Assegaf. Bisa dibetulkan lagi. Ini, makan dulu rotinya. Terus minum obat."

Abi Assegaf menurut. Syifa meraih remote TV dan menyalakannya. Tayangan berita tersaji di depan mata. Hanya berita-berita seputar korupsi yang dilakukan pejabat negara.

"Membosankan," komentar Adica setelah menghabiskan rotinya.

"Aku sudah muak membacakan warta berita itu di radio. Siaran berita berjaringan juga sering mewartakannya."

"Ya sudah, Sayang. Jangan didengarkan kalau tak suka." Syifa menengahi.

Susu tertuang dari teko perak. Abi Assegaf mengangkat gelas. Sedetik menyesap cairan putih itu...

"Pemirsa, pesawat dengan nomor penerbangan QZ610 hilang kontak. Sejak meninggalkan bandara..."

Abi Assegaf memuntahkan kembali minumannya. Wajahnya sepucat mayat. Adica, Arlita, dan Syifa langsung memfokuskan perhatian padanya.

"Ada apa, Abi?" tanya Syifa ketakutan.

"Syifa, itu pesawatnya Pak Deddy..." lirih Abi Assegaf.

"Astaghfirullah al-azhim...!" Arlita, Adica, dan Syifa bergumam kaget.

Gelas di tangan Abi Assegaf bergetar hebat. Dadanya terasa sesak. Ya, Allah, apa yang telah terjadi?

Dalam gerakan slow motion, Arlita memeluk Abi Assegaf. Pria Arab-Indonesia itu bersandar di pelukan Arlita. Bernafas cepat dan tak teratur, Abi Assegaf memohon Arlita agar dibolehkan ke Refrain Radio sekarang juga.

**      


Dalam suka ku percaya

Kau kan bisa

Menemani dengan cinta

Dalam duka ku bertanya

Bagaimana dalam hatimu bicara

Cerita yang kita punya

Takkan ada jika kau tak percaya

Di saat hampa hadir

Dan saat hampa hatimu

Ku kan ada

Ku di sana

Menemanimu selalu

Di saat hilang jalanmu

Dan saat hilang nafasmu

Ku kan ada

Ku di sana

Menemanimu selalu (Letto-Dalam Duka).

**     

Range Rover hitam berhenti di area parkir khusus angkasawan Refrain Radio. Pintu mobil terbuka. Dengan cekatan, Adica membuka bagasi. Mengambil kursi roda, lalu membantu Abinya turun dari mobil. Didorongnya kursi roda Abi Assegaf ke dalam studio.

Refrain Radio kacau. Gegara informasi pesawat yang ditumpangi salah satu penyiar hilang kontak. Abi Assegaf datang tepat pada waktunya. Pria lembut dan berwibawa itu menenangkan para karyawan. Walau hatinya sendiri tak tenang, Abi Assegaf cukup mampu menguasai diri.

Sasmita tergesa menghampiri Abi Assegaf. Ia berlutut di depan kursi roda, lalu angkat bicara.

"Assegaf, semoga Deddy baik-baik saja."

"Amin. Sudahkah berita ini disiarkan?"

Gelengan kepala Sasmita menjadi jawaban. Entah mengapa, para penyiar begitu ketakutan memberitakan kabar ini. Mungkin lantaran ada rekan mereka di pesawat itu.

Wajah-wajah di depannya begitu suram. Semua orang bersedih. Semua orang ketakutan. Abi Assegaf menguatkan hati. Seorang pemimpin harus kuat di tengah kerapuhan bawahannya.

"Baiklah. Biar aku yang siaran." Abi Assegaf akhirnya memutuskan.

Berpasang-pasang mata membelalak. Sebuah kenekatan ataukah inisiatif yang lahir dari kekuatan hati seorang pemimpin? Adica mencengkeram pegangan kursi roda, merasa tak yakin.

"Abi...Abi yakin mau siaran?" tanyanya.

Abi Assegaf mengangguk. Sasmita nampak sangsi. Namun, tak ada gunanya menghalangi.

Hembusan air conditioner menyerbu lengan, kaki, dan tengkuk mereka. Studio luas berkarpet tebal itu memberat digantungi atmosfer kesuraman. Hati-hati Abi Assegaf duduk di kursi siaran. Beberapa penyiar menyebutnya Kursi Panas, sebab di kursi itulah suara mereka dipertanggungjawabkan.

"Abi, bagaimana kalau aku saja? Aku tak tega melihat Abi memaksakan diri..." tawar Adica.

"Tidak usah. Biar Abi saja."

Dering telepon menyela. Pengarah teknik mengangkatnya. Begitu gagang telepon kembali ditutup, satu lagi berita memperjelas dan memberi guncangan.

Detik demi detik berlalu mencekam. Abi Assegaf bersiap di kursi siaran. Adica di sampingnya. Berjaga-jaga dan menemani. Janji harus ditepati. Dalam suka dan duka, Adica akan selalu ada untuk Abi Assegaf.

"Pendengar, dunia penerbangan kembali berduka." Abi Assegaf mulai mewartakan berita dengan suara lembutnya.

"Pesawat Boeing 737 Max 8 QZ610 jatuh di Perairan Karawang. Berdasarkan laporan air trafic controller, pesawat ini jatuh tiga belas menit setelah lepas landas."

Luar biasa. Adica terkagum-kagum. Dalam kondisi sedih dan terguncang, Abinya mampu membawakan berita dengan sangat baik. Sama baiknya ketika dia sehat dan rileks. Begitu pintar Abi Assegaf mengatur pikirannya saat ini.

"Pesawat Boeing 737 Max 8 QZ610 mengangkut 189 orang...."

Suara lembut Abi Assegaf tetap stabil. Ia menjaga profesionalitas di studio. Kekaguman buncah di hati Adica.

**      

"Calvin, mau kemana lagi kamu?"

Pemuda orientalis itu mempercepat langkah. Tanpa dijawab pun, seharusnya sang Papa sudah tahu. Tuan Effendi menjajari langkahnya.

"Aku mau ke Refrain, Pa." Calvin menjawab sabar.

"Ketemu Abi Assegafmu itu lagi? Sering sekali kau bertemu dengannya ya..." Nada suara Tuan Effendi berubah sarkastik.

Pintu mobil terbuka. Calvin buru-buru menyalakan mesin mobil, lalu meluncur pergi. SUV putih itu menuruni lereng bukit.

Calvin terus mendengarkan siaran breaking news kecelakaan pesawat dari radio mobil. Gemas rasanya saat terhambat kemacetan. Dapat ia rasakan keterpukulan sang penyiar. Ia bertekad sampai secepatnya di studio. Sama seperti Adica dan anggota keluarga Assegaf lainnya, Calvin pun sangat mencemaskan Abi Assegaf.

Tanpa disadari, sebuah Porche 911 hitam lekat mengikuti. Mobil itu terus menempel di belakang mobil Calvin. Begitu fokusnya Calvin memikirkan Abi Assegaf. Sampai-sampai dia tak mengenali mobil di belakangnya.

Studio Refrain Radio ia datangi. Duka melingkupi studio. Calvin dapat mencium aroma kesedihan.

"Permisi," katanya canggung pada dua staf Abi Asssegaf yang masih stay di koridor depan ruang siaran.

Lantai memantulkan bunyi langkah kaki Calvin. Kursi-kursi empuk di depan kotak siaran membisu. Meja kaca berbicara kesedihan. Sepasang mata sipit bening itu menatapi sosok Abi Assegaf di balik kaca. Sosok tampan berparas pucat yang tetap tegar menyiarkan berita pembawa kematian.

Pintu ruang siaran terbuka keras. Tepat di depan wajah Calvin. Adica berdiri tegak, wajahnya kalut.

"Mau apa lagi kau ke sini, Calvin? Awas minggir. Abi minta diantarkan ke bandara!" sergahnya tak sabar.

"Breaking newsnya sudah selesai?" Calvin balik bertanya.

"Sudah. Ditutup wawancara dengan Kepala Basarnas. Updatenya akan terus dilaporkan."

Sejurus kemudian Adica bergegas mengambil kursi roda. Ia tak ingin Abinya terlalu lelah. Abi Assegaf menolak kursi roda dibawa masuk ke kotak siaran.

"Biar kubantu..." Tangan Calvin terulur, namun Adica menepisnya kasar.

Roda-roda kursi menggelinding di keramik putih. Dengan lembut dan hati-hati, Adica membantu Abi Assegaf duduk di kursi roda. Calvin hanya bisa menatap perih. Begitu besar rasa sayang adiknya pada ayah kedua. Berbanding terbalik dengan perasaan pada ayah kandungnya sendiri.

"Abi, sekali lagi aku tanya. Abi masih kuat? Yakin ke bandara?" tanya Adica, nada suaranya begitu lembut.

"Yakin, Sayang. Abi harus memastikan. Pak Deddy sudah tidak punya keluarga lagi."

Adica mengangguk paham. Tak lama, kursi roda itu berpindah ke mobil. Jangan harap Calvin akan kehilangan jejak. Diikutinya mobil Adica dengan SUV-nya.

**     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun