Wajah-wajah di depannya begitu suram. Semua orang bersedih. Semua orang ketakutan. Abi Assegaf menguatkan hati. Seorang pemimpin harus kuat di tengah kerapuhan bawahannya.
"Baiklah. Biar aku yang siaran." Abi Assegaf akhirnya memutuskan.
Berpasang-pasang mata membelalak. Sebuah kenekatan ataukah inisiatif yang lahir dari kekuatan hati seorang pemimpin? Adica mencengkeram pegangan kursi roda, merasa tak yakin.
"Abi...Abi yakin mau siaran?" tanyanya.
Abi Assegaf mengangguk. Sasmita nampak sangsi. Namun, tak ada gunanya menghalangi.
Hembusan air conditioner menyerbu lengan, kaki, dan tengkuk mereka. Studio luas berkarpet tebal itu memberat digantungi atmosfer kesuraman. Hati-hati Abi Assegaf duduk di kursi siaran. Beberapa penyiar menyebutnya Kursi Panas, sebab di kursi itulah suara mereka dipertanggungjawabkan.
"Abi, bagaimana kalau aku saja? Aku tak tega melihat Abi memaksakan diri..." tawar Adica.
"Tidak usah. Biar Abi saja."
Dering telepon menyela. Pengarah teknik mengangkatnya. Begitu gagang telepon kembali ditutup, satu lagi berita memperjelas dan memberi guncangan.
Detik demi detik berlalu mencekam. Abi Assegaf bersiap di kursi siaran. Adica di sampingnya. Berjaga-jaga dan menemani. Janji harus ditepati. Dalam suka dan duka, Adica akan selalu ada untuk Abi Assegaf.
"Pendengar, dunia penerbangan kembali berduka." Abi Assegaf mulai mewartakan berita dengan suara lembutnya.