Tanpa disadari, sebuah Porche 911 hitam lekat mengikuti. Mobil itu terus menempel di belakang mobil Calvin. Begitu fokusnya Calvin memikirkan Abi Assegaf. Sampai-sampai dia tak mengenali mobil di belakangnya.
Studio Refrain Radio ia datangi. Duka melingkupi studio. Calvin dapat mencium aroma kesedihan.
"Permisi," katanya canggung pada dua staf Abi Asssegaf yang masih stay di koridor depan ruang siaran.
Lantai memantulkan bunyi langkah kaki Calvin. Kursi-kursi empuk di depan kotak siaran membisu. Meja kaca berbicara kesedihan. Sepasang mata sipit bening itu menatapi sosok Abi Assegaf di balik kaca. Sosok tampan berparas pucat yang tetap tegar menyiarkan berita pembawa kematian.
Pintu ruang siaran terbuka keras. Tepat di depan wajah Calvin. Adica berdiri tegak, wajahnya kalut.
"Mau apa lagi kau ke sini, Calvin? Awas minggir. Abi minta diantarkan ke bandara!" sergahnya tak sabar.
"Breaking newsnya sudah selesai?" Calvin balik bertanya.
"Sudah. Ditutup wawancara dengan Kepala Basarnas. Updatenya akan terus dilaporkan."
Sejurus kemudian Adica bergegas mengambil kursi roda. Ia tak ingin Abinya terlalu lelah. Abi Assegaf menolak kursi roda dibawa masuk ke kotak siaran.
"Biar kubantu..." Tangan Calvin terulur, namun Adica menepisnya kasar.
Roda-roda kursi menggelinding di keramik putih. Dengan lembut dan hati-hati, Adica membantu Abi Assegaf duduk di kursi roda. Calvin hanya bisa menatap perih. Begitu besar rasa sayang adiknya pada ayah kedua. Berbanding terbalik dengan perasaan pada ayah kandungnya sendiri.