Untaian tipis kabut perlahan menghilang. Awan-awan memecah, memperlihatkan kilasan langit seputih mutiara. Tak nampak pelangi. Tetes hujan pertama tahun itu baru saja reda.
Dalam keremangan kabut yang melenyap sedikit demi sedikit, Abi Assegaf berdiri di balkon tinggi. Tak memedulikan dinginnya udara. Bisa menikmati tetes hujan setelah berbulan-bulan saja sudah menjadi kesyukuran.
"Aku bersyukur, Pa. Adica bahagia saja aku sudah mensyukurinya." kata Calvin tenang.
Tuan Effendi mengepalkan tangan. Sisa kopi hangat di gelasnya belum tandas.
"Papa tidak sebaik kamu! Apa pun akan Papa lakukan untuk merebut anak Papa dari tangan Pak Assegaf!" geram pria itu. Wajahnya yang biasa santun menyenangkan dihiasi amarah.
Amarah? Tidak, tak ada amarah dalam hati Abi Assegaf. Ia menerima takdir hidupnya dengan penuh kepasrahan. Bila kanker paru-paru adalah ujian tanda cinta Allah padanya, untuk apa marah?
Sepasang tangan memeluknya dari belakang. Wangi citrus menyapa lembut indera penciuman. Abi Assegaf membalikkan tubuh. Senyum indah Arlita, hal pertama yang ditangkap netranya.
"Assegaf Sayang, ayo balik ke kamar. Udara dingin tak baik untukmu."
"Untukmu...apa yang tidak, my Dear Calvin?" desah Tuan Effendi seraya melipat koran paginya.
Calvin tersenyum, berterima kasih, lalu bangkit dari kursi rodanya. Dia tak butuh benda itu. Tertatih dilangkahkannya kaki ke garasi. Sesaat kemudian, terdengar deru mobil meninggalkan rumah mewah lereng bukit.
Rumah mewah tepi pantai itu dipenuhi alunan biola. Adica memainkan biolanya. Syifa, Arlita, dan Abi Assegaf bernyanyi.