Allah Maha Adil. Saat kondisi Abi Assegaf menurun, justru kondisi Adica membaik. Namun, tetap saja. Awan hitam masih menggayuti keluarga Assegaf.
Dering bel pintu mengurai momen ketegangan. Satu asisten rumah tangga sigap membukakan pintu utama. Tak lama, ia kembali bersama Calvin.
"Calvin? Sini, Nak."
Bukannya Adica, malah Abi Assegaf yang bangkit lebih dulu. Dirangkulnya Calvin dengan sikap fatherly. Diajaknya pemuda orientalis itu duduk di tengah-tengah Adica, Syifa, dan Arlita.Â
Refleks Adica sedikit menggeser posisi duduknya. Biola ia jauhkan dari jangkauan sesiapa. Biola dan Abi Assegaf, dua hal yang paling di-protect Adica selama beberapa bulan terakhir.
Calvin menatap masygul. Tak mengira adiknya sedingin itu. Harapannya lesap. Jangankan menyambut hangat, mendapat senyuman adik kandungnya pun tidak.
"Calvin, aku senang kamu datang ke rumah. Kenapa tidak ajak Silvi?" tanya Syifa, hangat dan bersahabat.
"Kamu seperti tak tahu Silvi saja. Dia kan paling enggan ke rumahmu karena trauma sama pantai." jawab Calvin. Disambuti anggukan Syifa. Sahabat Manado Borgonya itu takut pantai dan lautan karena pernah melihat prosesi pembuangan abu jenazah ke laut.
Dua pelayan membawakan minuman. Baki perak berisi lima gelas teh Earl Grey diletakkan. Adica menggenggam cangkirnya lebih erat. Abi Assegaf menyesap tehnya pelan-pelan. Syifa dan Arlita meminum teh mereka dengan anggun. Calvin menyembunyikan keresahannya di balik gelas.
"Bagaimana keadaan Abi?" Calvin bertanya penuh perhatian. Apa pun yang terjadi, Abi Assegaf tetaplah ayah kedua baginya.
Belum sempat pertanyaan itu terjawab. Abi Assegaf terbatuk, lalu memuntahkan tehnya. Cepat tanggap, Arlita berdiri dari sofa. Ia ambil cawan kecil keperakan, didekatkannya benda itu.