Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Spesial] Tulang Rusuk Malaikat Semua Paras Sama Mulianya

10 November 2018   06:00 Diperbarui: 10 November 2018   06:54 3389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setujukah kalian jika menunggu itu pekerjaan paling membosankan? Ya, bisa jadi. Tapi, percayalah. Nilai kesabaran akan meningkat jika terlatih menunggu.

Bagi orang sesabar Abi Assegaf, menunggu itu mudah. Sabarnya jangan ditanya. Ilmu sabarnya tertular pada Arlita, Adica, dan Asyifa. Namun, siapakah yang ditunggu Abi Assegaf malam ini?

"Abi, maaf ya. Aku tidak bisa main piano. Kalau aku bisa, Abi tak perlu menunggu Calvin seperti ini." Adica meminta maaf, terlihat bersalah.

Abi Assegaf tersenyum. Satu tangannya yang masih terbalut selang infus menepuk lembut punggung anak angkatnya.

"Abi tetap bangga memilikimu. Bakat bermain biola sama berharganya."

Adica membalas senyuman tulus itu. Ia peluk erat biolanya, seolah tak mau kehilangan.

Angin berbisik-bisik, mengirimkan kesejukan di sekeliling halaman studio. Tamu undangan berdatangan. Memenuhi halaman parkir dengan mobil mewah mereka. Turun dari mobil, rerata mereka melakukan hal yang sama: menghampiri Abi Assegaf, menyapanya hangat, dan menanyakan kesehatannya. Pimpinan Refrain Radio itu selalu menjawab pertanyaan tentang kesehatan dengan jawaban kalimat tahmid. Entah apa maknanya. Hanya Allah dan Abi Assegaf yang tahu.

Sebuah SUV putih menepi. Pintu pengemudi terbuka. Calvin turun dari mobil. Langkahnya sedikit limbung, wajahnya pias, namun senyum tak lepas dari paras tampannya.

"Abi, maaf. Apa aku terlambat?" tanyanya setengah menyesal.

"Tidak, anakku. Acaranya saja belum mulai. Tenang saja." kata Abi Assegaf menenangkan.

"Syukurlah. Di jalan, tadi aku sudah waswas. Takut terlambat."

Mereka beranjak masuk ke studio. Tangan Calvin terulur, bermaksud membantu memapah Abi Assegaf. Namun, Adica lebih cepat. Ia protektif. Seakan tak ingin Abinya disentuh tangan lain. Calvin mendesah, pelan menurunkan tangan.

**     


Bersatulah semua

Bersama kita kan bisa

Beri yang terbaik

Tuk negeri ini

Bagai sinar mentari

Yang kan selalu menerangi

Ku kan selalu ada untukmu (Marcell-Nusantaraku).

Suara lembut Abi Assegaf berpadu indah dengan dentingan piano Calvin. Audience terpesona, terpikat dengan alunan musik dan vokal yang begitu menawan. Tanpa sadar bibir mereka bergerak-gerak mengikuti untaian lirik tanpa suara.

Atmosfer kehangatan dan kekaguman melingkupi Refrain Radio. Lensa kamera berkilatan, meliput detik demi detik acara berjaringan nasional ini. Sebuah program dalam rangka menyambut Pemilu tahun depan bertajuk "Memilih Itu Juara." Hasil inovasi Abi Assegaf, bekerjasama dengan beberapa stasiun radio lainnya. Acara besar ini diliput insan pers. Program acara yang disiarkan secara live itu mengajak seluruh khalayak untuk menjadikan Pemilu sebagai ajang perdamaian, bukannya perpecahan.

Sebagai inisiator, Abi Assegaf bertekad menghadiri acara itu meski dalam kondisi sakit. Ia membuka acara itu dengan sebuah lagu. Lagu yang dibawakan dengan lembut, namun penuh kekuatan motivasi. Motivasi untuk bersatu dan mencintai bangsa.

Lihatlah itu. Pria tampan Arab-Indonesia menyanyikan lagu cinta untuk Indonesia. Pianis yang mengiringinya juga tak kalah memesona: pemuda tampan berkacamata dengan wajah orientalis yang khas. Darah boleh campuran, namun rasa cinta tanah air tetaplah murni. Semurni kasih di hati mereka.

Lagu selembut itu cocok dibawakan Calvin dan Abi Assegaf. Pas dengan karakter lembut mereka. Tak heran bila audience rela bangkit untuk memberi standing applause selama beberapa menit saat lagu usai.

Adica dan Arlita berdiri paling depan. Mereka bertepuk tangan paling keras dan baru berhenti paling akhir. Syifa menatap haru ke atas panggung. Gadis dengan long dress batik berwarna biru itu bangga pada ayah dan sahabatnya. Langit pun tahu. Abi Assegaf dan Calvin sama-sama menghadapi kondisi yang tidak ringan. Perjuangan mereka melawan penyakit masih panjang.

"Aku bangga sama Abi..." Syifa maju ke atas panggung, memeluk Abi Assegaf.

"Terima kasih, Sayang."

Abi Assegaf mencium kening putrinya. Tanpa ragu, ia tunjukkan kemesraan dan kasih di depan publik. Biarlah seisi dunia tahu. Betapa cintanya Abi Assegaf pada keluarga.

Dari kursi pianonya, Calvin tersenyum penuh arti. Ia senang melihat kedekatan Abi Assegaf dan Syifa. Ternyata Syifa menangkap lirikan Calvin. Sambil tersenyum menggoda, Syifa berkata.

"Mau dipeluk juga? Minta peluk aja sana sama Silvi atau Om Effendi."

Mendengar nama Papanya disebut, perasaan Calvin tak enak. Sungguh, ia pergi dari rumah demi memenuhi permintaan Abi Assegaf bukannya tanpa intrik. Harus dilewatinya dulu tatapan kecewa Nyonya Rose dan larangan keras Tuan Effendi.

Tuan Effendi cemburu. Kecemburuan seorang ayah saat anak tunggalnya berkeras datang untuk ayah lain. Sering kali ayah kandung Calvin itu bertanya-tanya: pesona apa dalam diri Abi Assegaf hingga mampu menjerat hati Calvin untuk mengaguminya dan menjadikannya ayah kedua? Ah, ia tak tahu. Ada kharisma, sesuatu tak kasat mata dalam diri Abi Assegaf yang membuatnya disayangi banyak orang. Abi Assegaf punya kekuatan sendiri untuk menjadi pribadi loveable.

Eits, jangan salah. Bukan hanya Tuan Effendi. Adica pun cemburu. Terbiasa mendapat perhatian full dari ayah keduanya, kini ia cemburu melihat Abi Assegaf berduet dengan Calvin. Terlintas dalam pikirannya untuk belajar bermain piano. Tak apa-apa sejenak meninggalkan biola. Berpindah dulu ke piano, mempelajarinya, dan meguasainya.

Cemburu anak dan orang tua, sangat wajar. Bukankah cemburu tanda cinta?

**     

Acara itu berlangsung lancar. Lupa dengan lelah dan sakitnya, Abi Assegaf mendatangi para tamu. Menyapa mereka satu per satu. Bertekad menyambung kembali silaturahmi setulus hati. Adica, Calvin, Syifa, dan Arlita mendampingi di kanan-kirinya.

"Pak Assegaf, Anda sehat?" tanya seorang tamu berkulit putih, berpostur tinggi, dan berambut gelap.

Mengapa pertanyaan mainstream itu lagi? Namun, Abi Assegaf selalu menjawab dengan sabar. Dia berpikiran positif. Menanyakan hal itu artinya mereka peduli. Kepedulian mestinya dibalas kasih dan kesabaran. Bukankah begitu?

"Banyak yang sayang Abi..." kata Adica lembut.

"Alhamdulillah. Abi senang kalau bisa mengisi sisa hidup dengan kasih sayang." balas Abi Assegaf.

Sedetik setelah kata kasih sayang terucap, pintu studio berdebam terbuka. Seorang perempuan paruh baya berkulit sawo matang dan berpakaian sederhana terengah. Rambutnya berantakan. Langkahnya terpatah-patah memasuki studio.

Abi Assegaf menatap perempuan itu iba. Pelan dilepasnya genggaman tangan Adica dan Arlita, lalu dihampirinya si perempuan.

Saat dihampiri Abi Assegaf, lutut perempuan itu melemas. Ia shock, tak percaya, dan bersyukur didatangi langsung sosok inspiratif idolanya.

"Selamat malam, Ibu. Saya Assegaf, Ibu mau ikut Memilih Itu Juara?" sapa Abi Assegaf lembut.

"Iya...saya salah satu pendengar Refrain Radio. Tapi saya terlambat. Saya ingin ikut acara ini, dan ingin bertemu Zaki Assegaf....ah, Puji Tuhan saya sudah menemukannya."

Air mata bergulir ke pipi keriputnya. Para tamu menatap heran. Sebegitu senangnya perempuan itu datang ke Refrain Radio dan bertemu Abi Assegaf. Sementara itu, Abi Assegaf nyaris kehilangan kata. Tak disangkanya ada pendengar sekaligus penggemarnya teramat terharu hanya karena telah bertemu.

"Pak Assegaf, Anda tahu? Tadi saya sempat diusir sekuriti di gerbang depan itu. Saya dilarang masuk. Katanya, tampang Boyolali seperti saya ini tidak pantas menghadiri acara besar dan bertemu Anda. Saya sedih dan heran. Memangnya ada apa dengan wajah saya ini? Lalu, kenapa saya disangka orang Boyolali? Saya orang Sragen kok. Ada-ada saja ya."

Trenyuh hati Abi Assegaf mendengarnya. Salut dengan kegigihan si pendengar dan penggemar setia. Ptamu undangan tak kalah tersentuh. Adica dan Calvin melempar pandang kagum. Syifa mengacungkan kedua ibu jarinya.

"Semua paras sama mulianya di mata Tuhan. Mau itu wajah Boyolali, wajah Batak, wajah Minahasa, wajah Minang, wajah Timur Tengah, wajah Eropa, wajah Tionghoa...semua sama. Maafkan karyawan saya ya...sini saya antar ke bangku." Abi Assegaf berujar lembut, menuntun perempuan baya itu ke barisan kursi VIP.

Apa yang dilakukan Abi Assegaf sukses membuat hati perempuan itu meleleh. Abi Assegaf mendudukkannya di kursi, mengambilkannya makanan dan minuman, mendengarkan curahan hatinya. Pria berlesung pipi itu menyambut dirinya dengan kasih dan kehangatan.

"Saya tidak salah mengagumi Anda. Anda orang baik dan toleran..." puji perempuan itu terus terang.

Usai acara, hal pertama yang dilakukan Abi Assegaf adalah memeluk Arlita. Diciumnya pipi wanita pertama dan terakhirnya itu.

"Maaf kalau kamu cemburu..." bisik Abi Assegaf.

"Tidak apa-apa." kata Arlita datar.

"Aku tahu, sikapmu tadi bukan karena cinta dan ketertarikan sebagai lelaki dan perempuan. Hanya ingin menghargai dan memberi contoh yang baik, kan?"

Abi Assegaf mengangguk. "Biar semua tahu. Memiliki paras apa pun bukanlah sebuah aib memalukan. Karena semuanya sama di mata Allah."

**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun